Cerita Hamil Anak Pertama
Memiliki keturunan dan menjadi orang tua tentunya merupakan impian bagi tiap pasangan yang sudah menikah. Kecuali kalian penganut paham "menyalahi fitrah" yang dibanggakan si kakak influencer yang katanya mirip artis korea. Kalo itu saya no comment. Tapi yang jelas, fitrah laki-laki menikah dengan perempuan itu berbanding lurus dengan fitrah manusia yang setelah berkeluarga ingin memiliki keturunan.
Saya pribadi kalau ditanyain kenapa pengen punya anak? Jawabannya cuma satu, saya butuh keturunan untuk terus meneruskan wasilah-wasilah kebaikan yang ada. Saya sadar amalan saya pribadi tidaklah cukup untuk mengantarkan saya ke syurga, dan salah satu amal jariyah yang akan menolong seorang manusia di akhirat kelak adalah do'a anak yang sholeh. Meski ya perkara kapan dikasih sama Allah, saya gak ambil pusing.
Sudah Isi Atau Belum?
Pasca menikah sebenernya saya dan si mas bukan pasangan yang terburu-buru soal perkara keturunan. Apalagi kita kenal via ta'aruf beda negara pula, tentu banyak hal yang perlu disinkronkan terlebih dahulu dari segi sosial budaya sebelum ke bahas perkara memiliki keturunan. Even diawal kami menghabiskan malam setelah melewati hari yang panjang menyapa tamu undangan yang hadir di acara walimatul ursy, kami ngobrol banyak soal hal tsb. Saya sampaikan ke suami sejak awal, that we should take everything easy. Karena mau bagaimanapun kita baru kenal, baru jumpa secara langsung, dan baru memulai sesi perkenalan yang sebenarnya. Saya tidak ingin terburu-buru jadi mari kita jalan pelan-pelan. And the good thing is he agree with me.
Tapi ya as always, meskipun kami berdua setuju sebagai pasangan untuk menjalani semuanya pelan-pelan. Tapi tidak dengan orang-orang disekitar kami. Seminggu menikah, pertanyaan "sudah isi?" mulai menghampiri. And to be honest, it's really annoying. I mean, what do you expect from two peoples that just married in one week?? Baru seminggu menikah dan sudah dicecar dengan pertanyaan soal keturunan, i really don't get it. Menurut saya pribadi, pertanyaan seperti itu amat sangat tidak sopan untuk dilontarkan.
Menikahnya sendiri sudah dikompetisikan, nah giliran sudah menikah, proses biologis pembuahan sel telur oleh spermanya pun dikompetisikan lagi. D*mn it people! Kaya' gak ada topik obrolan lain aja selain nanyain perkara keturunan ke pasangan yang baru menikah. Awal-awal ditanya begitu, saya sih gak ambil pusing ya, sekedar anggap angin lalu saja. Makin berjalannya waktu pertanyaan tsb makin nyaring, tapi masih saya jawab sambil bercanda "Alhamdulillah sudah, isi lemak. Hehe...". saya pernah bikin whatsapp story bahas ini, berharap yg kebiasaan usil nanya tercubit dan berhenti. But still people didn't stop, makin seenak udelnya nanya hal tsb.
Orang Tua Yang Berharap Menimang Cucu
Sampai disatu waktu ada kejadian yang membuat saya sangat marah dan muak. Yaitu ketika saya dan ibunda sedang menghadiri takziah salah satu kerabat kawan ummi yang meninggal, saya bertemu dengan seorang kawan ummi yang lain. Bayangin, i never meet this lady for a while since the walimah dan kita ketemu lagi di sebuah tempat dimana ada orang lain yang sedang berduka. Dan yang beliau tanyakan ketika bertemu saya didepan ibunda adalah, "Jannah sudah isi belum?". Saya tidak tersinggung dengan pertanyaan sudah isinya, tapi saya marah karena ybs menanyakan itu didepan ummi saya.
Buat yang sudah baca tulisan tentang Abi saya mungkin sudah tau, salah satu alasan saya menikah adalah karena sadar ummi dan abi yang sudah tidak muda. Saya ingin menikah ketika mereka berdua masih sehat dan kalau bisa membuat mereka makin bahagia dengan melihat kehadiran cucunya. Well, meski sebagai orang tua mereka gak demanding ke saya untuk buru-buru punya anak, tapi saya paham setelah saya menikah mereka menaruh sebuah harapan besar ke saya agar bisa segera menimang cucu.
How did i know about this? Jadi begini, saya akan ceritakan sedikit dalam hal ini dari sisi ummi saya. Sebelum menikah saya biasa sholat berjama'ah 5 waktu dengan ummi sebagai imam. Nah, ketika jadwal haid saya tiba, tentulah ummi yang paling pertama tau karena saya pasti bilang agar ybs tidak menunggu saya untuk sholat bareng. Nah, pasca menikah ketika pertama kali saya haid dan bilang ke ummi agar beliau sholat sendiri karena saya haid, saya sadar ada gurat kekecewaan disitu "Mba' haid?! Yaaahh...". Makanya, sejak saat itu momen ketika saya haid dan laporan ke ibunda menjadi hal yang amat sangat memberatkan bagi saya. Karena ketika saya haid, it means i'm not pregnant yet.
Makanya ketika si kawan ummi ini bertanya hal tersebut didepan ummi saya, i was really furious. Saya yang selama ini selalu menjawab pertanyaan ini dengan "iya sudah, isi lemak." sambil ketawa cengengesan, tapi kali ini saya jawab begitu sambil pasang muka melengos. Even ummi sadar respon saya yang jelek ini dan setelah si ibu menjauh langsung menyikut saya sambil berbisik "Mba' jawabnya kok begitu? Nggak sopan!". Saya balas, "Ya ibu itu lebih gak sopan, ngapain nanya begitu di tempat orang lagi takziah. Kaya' gak ada pertanyaan lain aja." dan dibalas ummi dengan tatapan mendelik menghujam kalbu.
Ya, saya berusaha menjaga perasaan orang tua saya perkara keturunan ini tapi disaat yang sama ada orang lain yang juga seorang ibu, yang saya juga tahu beliau sudah menikahkan anaknya dan pasti pernah diposisi jadi orang tua yang harap-harap cemas menanti kehadiran seorang cucu. Bisa-bisanya melontarkan pertanyaan yang terlihat "biasa" padahal disaat yang sama akan menyakiti orang lain yang sedang mengharapkan hal tersebut segera terjadi.
Saking gak pengen menyakiti ummi karena saya belum juga hamil waktu itu, saya bahkan pernah menangis didepan si mas, karena dibulan ke 4 atau ke 5 setelah menikah saya sempat terlambat haid dua pekan tapi ternyata setelahnya kembali haid dan takut menyampaikan kabar tsb ke ummi. Saya bilang kalau saya takut ummi kecewa lagi karena saya haid dan belum hamil juga. I really understand that this matter is only in Allah's will. Manusia cuma bisa berusaha, soal hasil ya terserah Allah. Tapi kan tetep aja ya, sediiihhh.
Memaksimalkan Usaha, Melangitkan Do'a
Dari kejadian tersebut, saya dan si mas mencoba mengkoreksi kembali apa-apa yang sudah dilakukan sejauh ini. Kita sudah berikhtiar sebaik mungkin, mulai dari memperhatikan kapan masa subur saya, sampai si mas yang makin merutinkan olahraga, puasa & konsumsi makanan sehatnya. Saya pun mulai cari-cari ilmu pengobatan tradisional dalam hal ini dengan rutin mengkonsumsi teh bunga telang untuk memperbaiki jadwal haid saya yang random dan susah ditebak.
Selain itu kami lebih reflektif dalam hal ibadah, mungkin masih ada hal yang bikin Allah belum redha dengan kami. Makanya, kita putuskan untuk memperbaiki lagi porsi habluminallah-nya. Kita sediakan waktu tiap malam untuk tahajud dan do'a bareng, even beliau makin bawel ngingetin istrinya untuk banyak-banyak baca qur'an. Saya juga mencoba jadi istri yang lebih taat dan banyak mendengarkan wejangan-wejangan pak bos, karena jujur diawal-awal menikah jiwa rebel saya masih meronta-ronta. Bawaannya mau ngelawan aja kalo dikasih tau ini itu sama si mas, padahal yang dibilangin banyak benernya.
Termasuk salah satunya mulai menerima kemungkinan akan kembali ke Maroko jika yang diusahakan di Indonesia tidak berjalan lancar. Jadi istri yang sami'na wa atho'na sama suami yang merupakan qawam dalam menjalani biduk rumah tangga. Kata hamzah, "barangkali ketika suami mba' redha dengan mba', Allah juga redha dan memudahkan persoalan keturunan ini.". Kita sebagai manusia hanya mampu melaksanakan tiga hal; ikhtiar, tawakal & berdo'a. Keputusan akhirnya semua ditangan Allah.
Dan Tibalah Saat Yang Berbahagia
Tepatnya di awal bulan Agustus, saya yang semenjak menikah selalu memperhatikan kalender menstruasi dibuat was-was karena sudah lewat satu pekan belum haid juga. Harusnya sepekan terakhir bulan Juli adalah jadwal menstruasi saya. Awalnya tidak saya ambil pusing karena seperti yang saya bilang, saya punya jadwal haid yang random. Meskipun sebenarnya setelah menikah jadwal haid saya menjadi lebih teratur dan hampir tidak pernah meleset. Kalaupun maju atau mundur, toleransinya 2-3hari, tidak pernah lagi lebih dari itu apalagi sampai seminggu.
Saya mencoba tidak menaruh harap karena gak mau kecewa kalau ternyata belum hamil dan cuma terlambat haid seperti biasa. Jadi saya putuskan kasih toleransi satu minggu lagi untuk lihat apakah akan haid atau tidak. Tapi entah kenapa waktu itu feeling saya merasa yakin sekali kalau sepertinya saya hamil. Makanya yang saya lakukan sambil menunggu waktu itu adalah memesan beberapa jenis test pack secara online. Why? saya terlalu malu untuk beli sendiri ke apotik dan saya gak mau minta tolong si mas karena cuma akan bikin ybs berharap juga.
Tepat tanggal 9 Agustus pesanan saya tiba. Bayangin saking takutnya kemungkinan alat tesnya gak valid, saya sampai pesan 8 alat tes kehamilan dari 5 brand berbeda. Yang ada dipikiran saya, daripada bolak-balik pesan, ya mending sekalian beli banyak, toh harganya gak mahal-mahal amat. Saya beli yang model strip biasa dengan range harga 1.500 s/d 19.000.
Nah, pagi harinya di tanggal 10 Agustus 2022 saya bergegas ke kamar mandi untuk menampung pipis pertama saya hari itu dan melakukan tes kehamilan untuk pertama kalinya. Saya lakukan prosedur sesuai arahan di bungkusnya dan setelah ditunggu beberapa saat munculah dua garis merah tapi salah satunya terlihat agak samar. Kemudian saya teringat obrolan guru-guru senior di sekolah kapan hari, kalau hasil test pack samar jangan langsung dibuang, tunggu satu hari kalau memang benar hamil nanti warnanya jadi makin jelas. Maka saya putuskan untuk bersabar, tidak excited apalagi mengabari si mas atau orang tua saya. Eh, tapi pada akhirnya pagi harinya ketika di kantor saya kasih tau ummi, minta validasi dari beliau yg sudah pengalaman beranak empat.
Kata ummi, "Ya kalau sudah garis dua, hamil lah itu namanya". Well meski begitu, keesokan harinya, saya putuskan untuk melakukan tes kedua kalinya dengan test pack yang harganya lebih mahal. Prosedur masih sama, dengan menggunakan urin pertama dihari itu. Dan voila setelah ditunggu beberapa saat hasilnya keluar dua garis merah yang lebih terang dan tegas dari sebelumnya. Disini saya mulai sumringah dan sangat yakin seyakin-yakinnya "yeay, i'm pregnant!". But still, saya masih menyimpan sendiri kabar bahagia ini (kecuali dengan ummi tentunya).
Bagaimana Reaksi Suami?
Malam harinya, saya bermaksud u/ membagi kabar bahagia ini dg si empunya andil hadirnya janin di rahim saya, si mas. Waktu mau tidur dan ybs sedang duduk-duduk main hape, saya sodorkan test pack bergaris dua yg tersimpan rapih di bungkusnya. Normalnya, respon yang diharapkan tentunya ybs terkejut, terharu trus mendekap istrinya penuh cinta yakan? Tapi mohon maaf, penonton harus kecewa karena respon suami saya out of the box sekali. Doi malah kasih pandangan bertanya-tanya ke saya, trus bilang "artinya apa?". Ternyata si mas gak tau-tauan yg namanya alat tes kehamilan, jadi doi gak paham liat strip positif atau nggaknya.
Praktis, momen yg awalnya diharapkan full romantis, jadi lawak bin ngeselin karena saya kudu memandu ybs baca bungkusnya u/ paham itu strip positif apa nggak. Mana karena produksi Indonesia panduannya pun dalam bahasa Indonesia dan suami bule saya tetep dong-dong'an gak paham. Akhirnya saya yang kesel langsung ngemeng to the point "Udah ah, pokoknya intinya aku hamil!". Baru doi senyam-senyum tengil kasih selamat tapi ya gak dipeluk juga istrinya, malah nanya "Are you happy now you are pregnant?", lha menurut ngana??? Heran bingit punya suami sebiji tingkahnya sering bikin pengeng ngegigit.
Ya pada akhirnya semua usaha dan do'a kami terjawab, buah cinta kami sedang menunggu giliran u/ keluar menatap dunia. Memang penantian saya dan suami gak ada apa-apanya kalau dibandingkan teman-teman lain yang bahkan bukan cuma setahun-dua tahun menanti hadirnya keturunan, beberapa diantaranya kudu bersabar belasan sampai puluhan tahun. Dan karena saya paling tau rasa lelahnya penantian itu, sampai detik ini saya gak pernah "usil" melontarkan pertanyaan "sudah isi?" "Kapan hamil?" "Kok belum punya anak?" "Kok masih berdua aja?" ke mereka-mereka yang menikah sebelum ataupun setelah saya. Bahkan ketika masih gadis pun gak pernah terlintas dibenak saya u/ bertanya perkara tsb karena ya sesimpel saya juga gak mau kalau nanti nikah dikepoin orang-orang perkara tsb.
Kamu kan gak pernah tau seberapa strugle yang dialami orang lain setelah mereka menikah dan kamu tidak punya hak melukai mereka dengan keingin tahuanmu yang tidak penting. Kalau mau do'akan mereka, ya silahkan do'akan dalam diam, itu lebih baik. Tulisan ini mungkin lebih ke prolog dari keseluruhan cerita pengalaman seorang Miftahul Jannah hamil anak pertama. Iya, seorang Jannah yang dulu pas gadis sering dikatain tomboy, gak ada anggun-anggunnya, pecicilan, bahkan sampai ditahap teman-teman deketnya bercanda "Nanti kalo nikah jangan-jangan kamu yang pake' jas, suamimu pakai gaun" (Heh?!). Seorang Jannah yang seperti itu ternyata bisa hamil dan akan menjadi seorang ibu, sesuatu yang saya sendiri tau akan terjadi tapi gak pernah terbayang kalau beneran akan terjadi.
Yak, kira-kira segitu dulu. Nanti kita sambung di episode selanjutnya yang bahas segala drama bumil dan gimana rasanya melahirkan di luar negeri jauh dari orang tua dan hanya didampingi suami. Bye-bye...^^)√
No comments: