Transformasi Berpakaian Mantan Santri
Sebagai alumni pesantren, seorang Jannah sebenarnya juga mengalami pasang surut keimanan dalam hal berpakaian. Dari yang awalnya gamisan, mendadak lebih suka pakai atasan plus bawahan bahkan pernah pakai celana (meski cuma disekitar rumah). Dari yang jilbabnya melebar sampai pinggul jadi sekedar "yang penting gak tipis dan menutupi dada".
Tapi dari semuanya, ada batas-batas yang tetap tidak berani saya lewati karena "malu"!
Contoh, pas SMA dan sedang liburan di rumah budhe saya hobi riwa-riwi pakai celana. Tapi meski begitu, celana yang saya pakai tetep longgar, minimal celana gunung yang gombrong-gombrong dan tetap berkaos kaki. Gak bakalan Jannah mau keluar meski sekedar ke mini market dekat rumah, kalau celananya ngapret membentuk lekuk-lekuk paha dan betis, maluuu...
Atau pernah juga ketika baru lulus SMA dimana jilbab saya mulai mengecil size-nya dari yang semula 150cm jadi cuma 115cm. Disatu waktu saya sedang ada kegiatan yang mengharuskan penggunaan kerudung berwarna putih, udah ngubek-ngubek pasar Bringharjo tapi gak nemu juga jilbab putih dengan bahan standar yang tidak nerawang.
Akhirnya kepikiran beli jilbab paris yang bahannya tipis. Alasannya, "kaya'nya gapapa soalnya kalau teman-teman lain yang pakai biasa aja, gak kelihatan nerawang banget". Eh, setelah beli dan coba macak di cermin kamar, langsung malu sendiri karena tetep merasa "nerawang ih, keliatan samar-samar rambutnya.". Meski begitu karena terpaksa dan gak ada pilihan ya tetap dipakai jilbab parisnya tapi di double kerudung lain.
Bahkan ketika kuliah saya sempat kepikiran ingin mulai menormalisasi penggunaan celana ke kampus. Saya berniat menentang orang tua dan sudah menyiapkan dalih “Kan yang mba’ pakai celana gunung yang longgar dan tidak membentuk lekuk tubuh”. Tapi karena satu dan lain hal rencana itu hanya hadir di kepala dan saya tidak benar-benar menjalankannya.
Alhamdulillah-nya Allah itu Maha Baik. Ketika balik ke kampung halaman, kembali berada di komunitas kebaikan, apalagi kerja di sekolah yang basic-nya tarbiyah, mau gak mau bikin Jannah kembali ke jalan yang benar. Kembali nyaman pakai gamis, semisal pakai atasan dan bawahan pun yang tetap syar'i. Kerudung juga melebar ke 120-150cm. Gimana nggak kembali ke jalan yang benar coba, wong kerjanya bareng ibunda bahkan sekantor kok. Ya sungkan dong kalau mau tetep ndableg.
Nah, karena pernah mengalami pasang surut ini (dan akhirnya kembali), makanya saya gak merasa related sama teman-teman yang juga alumni pesantren tapi temangsang amat sangat jauh. Santai memendekkan jilbab yang gak cuma mendek tapi juga nerawang dan sengaja disampirkan di bahu, dililit-lilit bahkan tidak menutup dada. Beberapa diantaranya bahkan dengan sadar melepas hijab yang dikenakan seutuhnya. Santai pakai celana ngapret-ngapret atau baju yang memperlihatkan lekuk tubuh. Santai kesana-kemari gak pakai kaos kaki, dlsb.
Well, memang tak pisa dipungkiri kalau lingkungan itu 99% bisa mempengaruhimu. Itu kenapa kita senantiasa diwanti-wanti baginda Nabi untuk baik-baik memilih teman karena mereka dapat mempengaruhimu, entah dalam hal kebaikan ataupun keburukan. Jadi kalau kamu merasa gampang terlena di lingkungan yang kurang baik, hindari dan bergabunglah dg komunitas kebaikan. Jangan coba-coba mendekati apalagi sengaja nyemplung disaat kamu sadar kalau kamu adalah orang yang gampang terbawa arus.
Terakhir, godaan maksiat itu banyak, tapi minimal rasa malulah yang membuatmu bertahan. Malu sama diri sendiri yang pernah shalih, malu dilihat orang ketika berubah lebih buruk, dan yang pasti malu kepada Allah Yang Maha Melihat. Semoga Allah senantiasa menjaga saya, kamu dan kita semua dalam sebaik-baik penjagaan-Nya.
No comments: