Abi Saya...
Katanya, ayah itu cinta pertama anak perempuannya. Bahkan gak jarang, si anak perempuan pada akhirnya menikah dengan laki-laki yang sifatnya tak berbeda jauh dari ayahnya. I don't really know if my father is my first love, may be yes, may be not, or may be i just don't realize. Tapi, ndilalahnya saya memang menikah dengan laki-laki yang cetakannya 11-12 dengan si Abi. Tidak direncanakan, karena seperti yang kalian bisa baca ditulisan-tulisan saya yang lalu. Perkenalan saya dengan si mas diputuskan oleh keluarga dengan Ummi dan Hamzah sebagai kang seleksinya. Kemiripan mereka bisa dilihat mulai dari obsesi sehatnya, ramuan-ramuan herbal yang ntah apa, hobi olahraga, even doyan ngemil bawang putih mentah.
Hari ini saya pengen menulis tentang Abi. Tulisan tentang Ummi, sudah pernah saya abadikan beberap tahun silam (kalian bisa baca tulisannya disini: Ummi Saya). Jika Ummi di mata saya itu adalah sosok yang tegas dan disiplin, maka bagi saya Abi adalah sosok pemikir yang mencintai keluarganya dengan caranya sendiri. Abi itu orang yang tidak banyak bicara, cendrung pendiam, tapi anehnya tipe kecerdasan abi itu sensing-ekstrovert. Saya sampai meragukan keabsahan tes tersebut karena even first impression kalo lihat air muka abi pun, gak ada nampak ekstrovert-ekstrovert-nya. Tapi kalau dilihat banyaknya grup komunitas di WhatsApp yang Abi ikuti, dan lingkar pergaulannya yang berkawan dengan banyak orang lintas organisasi, baru yakin "Yes, my father is indeed an extrovert".
Kalau tidak, mana mungkin Abi bisa kerja sekian puluh tahun di sebuah organisasi kemasyarakatan yang jelas membutuhkan skill bergaul dan komunikasi mumpuni. Makanya rather than bilang Abi saya pendiam, saya lebih suka bilang Abi itu pemikir. Pernah dalam satu kesempatan ummi mengadu ke anak-anaknya karena Abi diam saja ketika ada masalah. Ummi yang pengen Abi kasih tanggapan dan solusi, tapi malah diam saja tiap diajak bicara. Dan kalian tau waktu saya sampaikan hal itu ke Abi, beliau bilang "Abi itu lagi mikir mba', kalau misal begini nanti jadinya bagaimana? Kalau misalnya begitu nanti jadinya bagaimana?". See, makanya saya bilang Abi itu pemikir.
Kenangan Masa Kecil Saya Tentang Abi
Memori yang tertanam di kepala saya ketika kecil tentang Abi tidak begitu banyak. Karena belasan tahun, Ummi dan Abi menjalani LDM (Long Distance Marriage) Tebing Tinggi - Medan. Abi kerja di Medan sedangkan istri dan anak-anaknya tinggal di Tebing Tinggi. Waktu itu, kami belum pindah ke Tanjung Morawa yang jaraknya lebih dekat dengan Medan. Nah, perjalanan yang memakan waktu ±2jam dan ongkos yang lumayan kalau pulang-pergi setiap hari, akhirnya membuat Abi menginap di kantor dan hanya menghabiskan akhir pekan di rumah. Abi pulang tiap Sabtu sore, kemudian Senin paginya berangkat lagi ke Medan.
Meski begitu, bonding Abi dengan keluarganya tetap terjalin. Filosofi menciptakan jarak menyuburkan cinta benar-benar berlaku di keluarga kami. Weekend selalu jadi hari yang ditunggu semua orang. Ba'da Maghrib Abi akan tiba dengan membawa buah tangan yang meski tak mewah tapi selalu dinanti anak-anaknya. Biasanya Abi bawa wafer Tango dan permen karet, semua dibagi adil dan rata. Kami senang karena tiap pekan wafer yang Abi bawa berbeda-beda rasanya. Belum lagi agenda rutin Ahad pagi, Abi akan ajak anak-anaknya jalan pagi mbelasak-mbelusuk ke semak belukar. Waktu itu masih banyak tanah lapang kosong dengan tanah merah di lingkungan tempat tinggal kami. Gak jarang kalau hari sebelumnya hujan, tanah jadi becek dan licin yang membuat petualangan lebih menantang.
Yes, kami menyebutnya petualangan. Saya ingat kami bahkan punya jingle sepanjang jalan, sambil bawa kayu yang asal comot dijalan dan disabet-sabetkan di ilalang yang tumbuh, "Jejak petualang, petualang kita!". Lupa itu lagu apaan, tapi saya masih ingat sedikit nadanya. Atau, saya dan Mar'ah (almarhumah adek perempuan saya) akan menyanyikan lagu yang sebenarnya mengolok-olok adek laki-laki kami, Hamzah. "TeBe the the voice, TeBe the the voice!". TB itu singkatan dari Tukang Butot a.k.a sebutan pemulung disini. Dulu Hamzah yang pas kecil badannya lebih kurus dan sering banget jadi sasaran bully. Apalagi Ummi suka bercanda bilang, "Mas bukan anak Ummi, tapi nemu di tong sampah, jadi mas anaknya tukang butot". Habis itu ybs nangis mbeker-mbeker gak terima, haha.
Nah Ahad sorenya, baru Abi akan ajak kami jalan-jalan keliling kota naik sepeda motor. Kalau pas lagi ada rezeki lebih, Abi akan ajak kami mampir ke toko buku loak untuk njajani anak-anaknya majalah anak bekas (bobo/orbit) atau komik donal bebek bekas. Kalau tidak ya hanya sekedar keliling-keliling, mampir TK lama kami untuk main perosotan dan ayunan, sebelum akhirnya mampir warung untuk beli ciki-ciki atau biskuit tini-wini-biti, baru pulang ke rumah menjelang Maghrib. Sederhana tapi tetap menyenangkan. Karena biasanya kami berebut pengen duduk di boncengan depan semua. Akhirnya digilir bergantian biar semua merasakan duduk di depan.
Senin paginya, ba'da Shubuh Abi sudah siap-siap untuk berangkat kembali ke Medan. Biasanya kami pun sudah bangun dan rapih karena juga akan berangkat sekolah. Kami antar Abi ke teras depan, begitu Abi jalan keluar gang semua serempak teriak "Fii Amanillah Abi!! hati-hati di jalan!!!".
Abi Yang Hangat dan Perhatian Dengan Caranya
Kenangan saya saat kecil dengan Abi berhenti disitu, karena selepas saya tamat SD, kami sekeluarga memutuskan pindah rumah ke Tanjung Morawa. Dan beberapa bulan setelahnya saya langsung dikirim merantau ke pulau Jawa untuk nyantri. Selama nyantri saya tak banyak bicara dengan Abi, tiap telpon lebih banyak bicara dengan Ummi daripada dengan Abi. Karena Abi tipikal bapak-bapak kebanyakan yang kalau sudah gak nemu topik pembicaraan langsung diam. Akhirnya sebagai lawan bicaranya suka dibikin keki karena sama-sama terdiam lama. Tapi terlepas dari itu semua saya tahu perhatiannya tidak pernah berkurang.
Pernah disatu kesempatan saat kelulusan saya SMA, kebetulan tahun itu juga giliran Abi berangkat ke Jawa membesuk anaknya yang merantau menuntut ilmu. Abi ajak saya makan di salah satu rumah makan. Sebagai anak asrama yang terbiasa berhemat, jadilah saya sekedar pesan nasi telur dan es teh. Abi yang lihat itu langsung bilang, "Pesan yang lain lah, kan ada ayam, ikan, bebek. Minumnya juga, segini banyaknya jus kok pesan es teh." Baru setelah dibilang begitu saya ganti pesan yang lebih fancy sedikit, hehe.
Makin kesini saya makin sadar kalau Abi itu tipe laki-laki yang romantis dengan caranya. He never says love and rarely express his feeling through word. Tapi tindakannya bercerita banyak. Abi sering lupa ulang tahun istri dan anak-anaknya. Tapi dia mudah mengingat detail kecil yang sering dianggap tak penting. Pernah satu waktu saya asal ngomong kalau suka Nestle Teh Tarik. Beberapa bulan setelahnya, pas Abi pulang dari jajan jahe sachet di warung, beliau ngeluarin serenteng Nestle Teh Tarik terus dikasih ke saya, padahal saya gak minta dibelikan. Kata Abi, "Nih, kan katanya mba' suka ini.". Lha masih inget, padahal saya ngomongnya pun sambil lalu. But seriously, saya ngerasain banget perhatian Abi waktu itu. Atau dikesempatan lain ketika Abi tahu Ummi yang suka banget lemper dan pas pulang wirid ybs bawa berkat yang ada snack lempernya. Abi langsung manggil-manggil Ummi dari ruang makan "Mi, mau lemper nggak? Snack-nya lemper ini, favorit Ummi.".
Even ketika pagi Abi keluar untuk beli lontong, Abi langsung beli pesanan seluruh anggota keluarga sesuai dengan kesukaannya. Saya dengan ummi lontong telur mata sapi dan si mas nasi gurih gulai ikan nila. Kalaupun pada akhirnya telur mata sapinya cuma satu, itu berakhir jadi milik Ummi, belahan jiwanya Abi. Aku mah, apa atuh. Termasuk soal berbagi makanan, ketika ada kiriman makanan dan di rumah cuma ada saya dan Abi. Pasti Abi selalu suruh saya ambil sebanyak yang saya suka, baru jatah bersih-bersihnya di Abi. Kadang kalau saya ambilnya menurut Abi terlalu sedikit, Abi akan bilang "Ambil lagi ayamnya mba', Abi sedikit aja.". Banyak atau sedikit tak jadi soal, yang penting berbagi, itu prinsip Abi.
Abi Setelah Anak Perempuannya Merantau Jauh
Akhir-akhir ini, terutama semenjak saya berangkat ke Maroko, Abi jadi makin sering bacain status-status WhatsApp saya, bahkan meninggalkan komentar dihampir semua postingan saya di Facebook. Padahal sebelum-sebelumnya jarang, atau bahkan bisa dibilang gak pernah. Malah Abi itu suka bikin gemes keluarga karena sering terlihat pegang handphone dan update Facebook, tapi giliran di WhatsApp slow response bahkan bisa gak balas sama sekali. Tapi ya yang terlihat sekarang, Abi jadi terlihat lebih peduli.
Mungkin kepergian anak perempuan satu-satunya di keluarga cukup terasa? Who know. Padahal pas masih di rumah saya dan Abi jarang akur dan sering sekali berdebat kusir. Sampai Ummi sering marah ke saya, karena gak pernah mau ngalah kalau sudah ngotot-ngototan dengan Abi. But as i say in begining, filosofi menciptakan jarak menyuburkan cinta selalu berhasil di keluarga ini. Kamu baru ngerasain berharganya seseorang ketika sedang tidak berada didekatnya.
Baru kemarin banget, setelah saya post foto saya kecil yang berhijab, tetiba Abi komentar. Abi bilang kalau dulu Ummi bikin kerudung dan setelan baju muslimah untuk saya itu saking masih jarangnya, orang-orang tertarik dan pesan ke Ummi. Trus saya bilang "Sayangnya sudah gak ada lagi ya Bi, jilbabnya.". Then dijawab Abi kalau sebagian masih ada yang disimpan, sebagian sudah disumbangkan. Jadilah saya respon "Yaudah besok-besok kalau mba' pulang ke Indo, mba' bawa ya biar jadi benda turun temurun.". Yang heran setelahnya Abi kirim saya foto lama banget waktu saya belum nikah yang ada gambar saya, Ummi dan Abi lagi mampir minum es kelapa muda di pinggir jalan, mau masuk Tebing Tinggi dari arah Pabatu. Saya respon dengan kirim emot ikon love.
Tapi gara-gara itu tetiba saya merasa sedih sekali. Ntah kenapa sikap Abi yang lebih perhatian dan gak seperti biasanya bikin saya makin rindu beliau. Trus saya jadi ngerasa bersalah, karena selama di Maroko saya sering video call dengan Ummi tapi jarang video call dengan Abi. Ya, Abi seperti halnya kebanyakan bapak-bapak. Ketika istrinya memulai video call dengan anak-anaknya, Abi jarang inisiatif untuk nimbrung atau menampakkan dirinya kecuali dipanggil Ummi. Saya hafal sekali soal ini sejak masih merantau di Jogja. Makanya biasanya saya inisiatif, setelah telpon Ummi saya akan telpon Abi langsung ke nomer pribadinya.
Malamnya, ketika mau tidur dan cerita-cerita dengan si mas soal Abi yang chat saya paginya. Ntah kenapa, saat saya mulai cerita, saya jadi baper sendiri. Then end up crying dan bikin si mas heran "No, no, no, Jannah.. Don't cry...". Akhirnya setelah dipuk-puk saya mulai cerita, kalau saya nangis karena rindu Abi. Trus si mas tanya "Kamu pernah nangis gini juga gak sih pas di Jogja?". Saya jawab, "Nggak, selama merantau di Jawa aku nangis itu cuma pas sakit. Karena kalau sakit trus di kos'an sendiri kerasa sepinya. Kalau sakit di rumah kan ada Ummi yang perhatian.". Trus ya itu tadi, saya ngerasa bersalah karena selama di Indonesia merasa masih kurang baik jadi anak, masih sering kelepasan bicara dengan Abi atau Ummi. Dan giliran udah jauh gini baru kerasa menyesalnya.
Abi Sebagai Cinta Pertama Anak Perempuannya
Pagi ini di Maroko dimana disaat yang sama sudah hampir pukul 2 siang di Indonesia, saya langsung video call Abi. Kebetulan hari ini paket kado ulang tahun yang tertunda dari saya dan Hamzah untuk Ummi dan Abi sudah sampai. Jadi makin ada alasan untuk ngobrol-ngobrol dengan Abi. Somehow karena udah lama gak ngobrol, banyak sekali yang diceritakan Abi. Mulai dari makanan di rumah, kucing-kucing, kerjaan di Rumah Zakat, bikin passpor yang kena denda, sampai agenda rihlah binaan liqo' Abi. Bahkan tak terasa 1 jam saya habiskan untuk berbicara berdua dengan Abi.
Ya, Abi tetaplah Abi. Beliau hangat dan perhatian dengan caranya. Saya juga dibuat ingat, bahwa Abi adalah salah satu alasan saya memutuskan menikah dan tidak lagi menundanya. Dulu saya suka sedih ketika Abi baru pulang dari jumpa salah satu kawannya yang sebaya dengannya dan cerita kalau kawannya tsb sudah punya cucu. Atau ketika ramai anak tetangga main di halaman rumah kami, saya lihat Abi mengintip sambil tertawa-tawa dari balik jendela rumah. Ah, Abi sudah semakin berumur. Sudah layak dipanggil kakek. Tapi jangankan kasih cucu, membawakannya menantu saja saya belum mau.
Terima kasih untuk penjagaannya selama 27 tahun terakhir Abi. Insya Allah Abi tidak salah menitipkan anak perempuan Abi ke tangan lelaki jauh yang kini jadi suaminya. Lelaki sholeh yang hadir berkat do'a-do'a yang Abi panjatkan kepada Allah. Abi akan selalu jadi cinta pertama anak perempuannya. Bahkan ada kutipan bagus disalah satu buku yang saya pernah baca, "Ketika anak perempuan merasa paling dicintai oleh ayahnya, dia tidak akan mencari cinta laki-laki lain diluar rumah. Karena sudah ada ayahnya yang paling mencintainya di rumah." Hal ini juga yang akhir-akhir ini sering saya obrolin dengan suami. Saya bilang "Kalau nanti anak kita perempuan, kamu gak boleh bikin jarak ya. Kamu harus jadi yang paling dekat dan paling perhatian, biar dia selalu merasa paling dicintai oleh ayahnya.".
Alhamdulillah saya gak mencari cinta laki-laki lain di luar rumah, gak pacaran sampai akhirnya menikah. Karena saya sudah sangat dicintai di rumah oleh Abi. Hehe. Semoga Abi sehat dan senantiasa dalam penjagaan Allah…^^
No comments: