Maroko dan Makanannya
Tanggal 13 Desember 2022 kemarin adalah tepat 1 bulan sudah saya merantau ikut suami ke negara asalnya, Maroko. Mohon maaf, niatnya mau update tulisan per-2 hari, tetiba bumil dilanda virus mager. Ide di kepala banyak, tapi tangannya malas bergerak untuk menuliskan. Mana memang ndilalahnya udara sepekan terakhir duingin biyangeeettt, gegara hujan yang akhir-akhir ini rajin turun. Jadi literaly nggarai jari jemari mager karena beku.
Nah, hari ini saya pengen ngebahas soal proses adaptasi saya dengan dunia mbadok a.k.a makan selama tinggal di Maroko. Karena makan itu sesuatu yang really important, mengingat manusia kalau mau hidup ya kudu makan. Tentunya ini susah-susah gampang, karena beda daerah biasanya punya beda jenis hidangan. Nggak usah jauh-jauh ke Maroko, orang yang sudah lama tinggal di Sumatera saja ketika pertama kali menginjakkan kaki ke Jawa masih suka kaget dengan makanan-makanannya yang dominan manis. Apalagi ini adaptasi makanan lintas negara.
As an indonesian, makanan pokok kita beras, nasi is our best friend. Tapi disini, makanan pokoknya roti. Kebayangkan hari-hari makan roti??? Yes, saya coba kasih gambaran sedikit ya. In the morning, they will eat bread dengan beberapa cocolan macam; minyak zaitun, butter, selai, madu dan telur yang di orak arik setengah matang with some tea, coffe or milk as beverage. Nah nanti siangnya makan roti lagi tapi dicocol dengan masakan, seperti tajin (rebusan sayur mayur yg kadang di mix sama daging/ikan) or lentil (tampilannya macam burjo, tapi rasanya gurih) or bissara (semacam olahan kacang yg ditumbuk halus trus direbus. Jujur untuk yang ini rasanya nggak masuk ke lidah saya) and many more. Kadang ditemani jus buah/sayur home made. Nah terakhir untuk makan malam, roti lagi. Bisa dicocol pakai masakan lebihan tadi siang atau ya sekedar pakai butter, selai, dlsb. Occassional saja sambil ngeteh cantik sebelum bobok.
Roti Khubs versi maroko |
Intinya secara garis besar begitulah kombinasi makanan mereka dengan roti as their main food. Anyway, roti-rotiannya pun ada jenisnya, saya coba jelasin sebagian yang sudah saya icip-icip selama disini saja ya. Basic roti yang mereka makan itu khubs, jenis roti keras yang dibuat dari gandum utuh. Khubs ini bahkan biasa dijual di pinggir jalan, di warung-warung or even di pasar. Tapi biasanya orang sini lebih suka bikin sendiri sih, dan umminya si mas termasuk tim yang suka bikin khubs sendiri. Jadi, tiap 2-3hari sekali pasti baking roti u/ di makan satu keluarga. Selain itu ada Harsha yang biasa dibuat dari tepung jagung kasar (samolina) yang dipanggang diatas kompor langsung pakai pan (nggak pakai oven). Atau Malawi yang adonannya kalau kata saya mirip adonan kulit martabak telur, bisa dipanggang plain pakai pan diatas kompor atau dikasih isian sayur, coklat, selai, persis martabak. Favorit saya Malawi sih, yang rasanya paling familiar sama makanan di Indonesia, apalagi kalau dikasih isian coklat, beugh, endolita bener.
Tapi kalau kata si mas, Harsha dan Malawi itu sebenernya termasuk hidangan yang cuma dibikin kalau pas ada tamu atau ada perayaan hari besar. Karena termasuk heavy food kalo dibandingin sama khubs. Cuma gegara saya suka seretan pas makan khubs dan kurang begitu suka teksturnya, hampir tiap hari ummi mertua bikinin saya Harsha atau Malawi untuk sarapan. Jadi ngerasa nggak enak, tapi ya menikmati. ( ~ ^3^)~ Imbangan'e ora mangan kok yo, bumil kan harus banyak makan. Oiya, diluar tiga jenis roti tadi, ada juga aneka pastry, kalo ini pasti pada tau lah ya. Pokoknya roti-rotian yang biasa kalian liat di Breadtalk, roti-O, dlsb itu, disini dimakan as a main food. Kalo kita kan makannya sebagai snack kadang-kadang saja yak.
To be honest, saya pernah bilang ke si mas kalau saya ngerasa sarapan yang saya makan itu bukan sarapan, lebih ke ngeteh sambil ngemil banyak roti. Ya karena basic-nya makanan pokok saya as an Indonesian itu nasi. Tapi saya coba nggak ambil pusing, karena ummi mertua mencoba memahami dan tiap makan siang selalu bikinin nasi buat saya makan sama sayur dan lauk-pauk yang mereka sendiri biasa makannya dicocol sama khubs tadi. At least i still eat rice once a day. Dan makin sering di makan, makin kebiasa juga dengan per-roti-rotian yang ada. Kadang juga kalo pengen nyayur atau bikin lauk sendiri ya saya tinggal ke dapur saja untuk eksekusi. Kalo yang lauk-lauk sederhana saya masih bisalah bikinnya.
Ah iya, there's another thing about food i need to explain. We Indonesian peoples really love spicy things. Rasanya kurang lengkap kalau makan nggak ada pedas-pedasnya. Tapi disini, mereka gak begitu doyan pedas. Rasa makanannya didominasi asin yang lebih ke datar, bukan umami dengan bumbu - bumbuan nendang macam makanan Medan yang lengkap asin, manis, pedas, asam dan gurihnya. Jadi dibilang asin, tapi asinnya samar. Udah gitu, dari yang saya perhatikan hampir semua jenis makanannya itu aromanya mirip banget, mau jenis sayurannya diganti, ya bentukan jadinya begitu. Gimana ya jelasinnya? Gini deh kita kan kalo di Indonesia ngolah sayur bisa tuh bedain sayur gulai sama sayur bening, dari aroma beda, visualnya juga beda. Nah, kalo disini tipikal banget. Saya nggak tau apakah itu cuma di masakan umminya si mas, atau memang rata-rata masakan sini aromanya begitu. Karena saya pernah keluar motoran sama si mas, trus pas ngelewatin beberapa restoran yang nyediain makanan rumahan, aromanya ya khas persis yang dimasak di rumah.
Lentil untuk cocolan |
Balik lagi ke perkara makanan pedas tadi. Ceritanya pas saya kesini, ummi mbontoti saja 6 bungkus rendang kemasan untuk dibagi-bagi sebagai oleh-oleh dan saya simpan sebagian untuk makanan kalau kangen rumah. Dan kalian tau apa kata umminya si mas pas nyicip rendang for the first time?? "Haaarrrrr", kepedesan dong gaes. Padahal kata saya nggak pedas sama sekali, ya pedasnya rendang pada umumnya lah. Karena level pedes banget saya itu, kalau sampai bikin air mata menetes pas makan & kuping berdenging, baru beneran pedas. Tapi asli mereka kepedesan, sampai minum bolak-balik saking nggak tahannya.
Jadi, nggak pernah ada ceritanya mereka ngolah makanan dengan cabai yang diuleg atau diris-iris macam kita di Indonesia. Kalo ngerebus pakai cabai, ya bulet-bulet gitu dicemplungin. Itupun dari satu kuali gitu, yang dicemplungin cuma 1-3buah cabai. Gak keroso nek jare wong jowo. Udah gitu, bukannya di makan tapi pas disajikan ya tetap disisihkan. Kecuali memang dasarnya doyan pedas, baru dicuil-cuil, itupun sekedarnya dan tidak untuk dihabiskan.
Bissara untuk cocolan |
It’s really challenging untuk merasa baik-baik saja dengan semua makanan harian disini. Tapi yo kepiye, penak ora kepenak kudu di penak-penak'e. Nek nggak ngono ora survive. Untungnya yaitu tadi, saya bukan orang rewel yang kalo nggak suka, beneran nggak bakalan dimakan. I still try, and addapt with it. Paling ya kalo ketemu makanan yang beneran nggak masuk rasanya macam bissara tadi, ya udah dihindari tapi tetep dimakan yang lain, yang rasanya agak masuk meski nggak biasa di lidah. Saya membiasakan diri untuk cerita sama suami ketika ada keluhan apapun termasuk perkara makanan, saya bilang "Aku nggak kebiasa sama teksturnya atau rasanya, jadi kamu jelasin ya ke ummi biar beliau nggak salah paham. Tapi insya Allah aku tetep makan yang lain kok.". Dan suami selalu mengkomunikasikan itu dengan ummi mertua. Alhamdulillah, beliau mengerti bahkan mencoba menyesuaikan cara memasaknya dan membumbunya dengan preferensi saya.
Yes, ummi mertua mencoba ngikutin selera saya, termasuk soal perkara memasak nasi. Ini sempat jadi menyulitkan diawal-awal saya tinggal disini. Sulitnya gimana?? Well, sepertinya harus saya lanjutkan di tulisan berikutnya. Karena ternyata sudah sepanjang ini saya belum 100% menuliskan persoalan adaptasi saya dengan makanan di Maroko, baru 50% dong. Insya Allah akan saya genapkan di tulisan berikutnya. Sekian...^^
No comments: