Pindah Ke Maroko

Post a Comment
Per tanggal 13 November 2022, merupakan hari pertama saya menginjakkan kaki di kampung halaman suami, negeri maghribi a.k.a Maroko. Ya, kalau orang-orang suka amazing ketika liat WNI kok bisa nikah sama bule, well, kata saya itu gak semenyenangkan yang kalian bayangkan. Nikah dengan bule itu bukan sekedar masalah sepele soal perbaikan keturunan gaess, banyak resiko-resiko setelahnya yang harus siap diterima lahir dan batin, termasuk salah satunya adalah ikut pindah ke negara asal suami.

Dan persentase "pindah" ini besar, mengingat birokrasi negara kita belum support untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi WNA pasangan nikah campur yang berniat tinggal di Indonesia. Sementara bagi orang yang sudah menikah kan namanya kepala keluarga butuh penghasilan jelas untuk membiayai keluarga yang sedang dibinanya.

Itu juga yang akhirnya saya dan suami hadapi setelah hampir 9 bulan menetap di Indonesia. Akhirnya kami sampai pada keputusan, "let's go back to Morocco, Insya Allah ada berkah yang bisa dicari disana". Berat?? Oh jelas berat banget untuk saya khususnya. Iya memang benar, saya sudah biasa melanglang buana sendiri di tanah Jawa belasan tahun meninggalkan orang tua di pulau Sumatera, tapi kan judulnya "masih sama-sama di Indonesia". Lha ini Maroko. Negara yang perbedaan waktunya dengan Indonesia saja ±6 jam lebih lama. Di Maroko jam 6 pagi baru shubuh, di Indonesia pada saat yg sama sudah jam 12 siang.

Tapi seperti yang saya bilang, sudah resiko menikah dengan orang asing, i must prepare my self to accept my fate. Apalagi ketika saya nangis-nangis di depan ummi pas pertama kali ide itu terlontar dari mulut si mas, kalian tau apa yang ummi bilang "Namanya mba' sudah menikah, perempuan kalau sudah menikah baktinya itu ke suaminya bukan lagi ke orang tuanya, sementara laki-laki sekalipun dia menikah dia tetap wajib berbakti kepada orang tuanya. Ya itulah bedanya perempuan dan laki-laki setelah menikah. Yaudah dijalani saja, siapa tau memang rezekinya ada disana. Nanti insya Allah kalau semuanya lancar kan bisa sesekali pulang ke Indonesia atau ummi dan abi yang sesekali kesana.". Apa nggak makin mewek??? Berharap orang tua mendukung saya untuk membatalkan niat si mas yang ngajakin pindah, malah mereka memberi lampu hijau untuk berangkat tanpa drama sedikitpun. Tapi ya disatu sisi saya tahu sekali bahwa apa yang dikatakan ummi itu tidak salah. Bakti perempuan yang sudah menikah itu ada pada suaminya.

Bahkan ketika saya telpon Hamzah, adik laki-laki saya untuk minta pandangan ybs, dia pun menyampaikan hal yang sama. Apalagi diawal-awal menikah saya sempat tidak bisa menahan emosi ketika dengar omongan orang-orang soal "Sudah isi apa belum?". Dan Hamzah kasih saya contoh kasus yang pernah dialami seorang kenalannya, ketika istri ybs yang bekerja memutuskan untuk resign dari pekerjaannya agar bisa menemani suaminya memulai usaha dari nol. Qadarullah, setelahnya Allah permudah urusan mereka dalam mencari rezeki termasuk persoalan memperoleh keturunan. Kata Hamzah, "Siapa tau setelah mba' redha ikut mas Abdellah ke Maroko, Allah redha dan lancarkan rezeki kalian disana, trus Allah buat mba' hamil.". Ah, lagi-lagi saya tau sekali kalau yang disampaikan Hamzah itu tidak salah.

Dan itu terbukti, ketika saya mencoba mulai ikhlas dan memandang semuanya dari sisi positif. Saya mulai berkomunikasi dengan suami lebih terbuka, saya sampaikan semua yang membuat saya masih merasa berat dan takut untuk pergi. Saya coba ikuti pesan salah seorang kakak kelas saya di SMP yang kebetulan sudah lebih dulu menikah dengan WNA dan bahkan sudah lama ikut suaminya tinggal di luar Indonesia, kata beliau "Komunikasikan semua yang mengganjal, Jannah. Jangan diam-diam saja. Laki-laki itu bingung kalau ada masalah tapi yang perempuan diam-diam saja. Mereka lebih suka kalau kita terbuka dan ajak diskusi tentang apa-apa yang kita gak sependapat.".

Kata-kata beliau cukup bikin saya merenung banyak, karena selama ini setiap si mas melontarkan ide untuk pindah, saya langsung terdiam, ngeblok dan nangis-nangis tanpa mau diajak berbicara atau berdiskusi. Intinya langsung menolak mentah-mentah ide tsb.

Berangkat dari situ saya mulai menata hati membicarakan semuanya baik-baik berdua dengan suami. Dan ternyata memang benar, kunci semuanya ada di komunikasi. Setelah saya sampaikan semua yang mengganjal, si mas terlihat senang dan memberikan jawaban-jawaban dan solusi yang bisa ditawarkan. Kata ybs "Kamu tau, ketika aku pertama kali berangkat ke Indonesia, meskipun aku belum pernah sekalipun kesini dan belum pernah lihat kamu yang aslinya seperti apa, aku malah senang dan excited, ini pengalaman pertamaku dan pasti banyak hal yang bisa di eksplore. Dan benar aja, ternyata banyak hal yang aku sukai di Indonesia, aku suka alamnya, aku suka keramahan orang-orangnya, bahkan aku nggak menyesal sudah memutuskan datang kesini untuk menikah dengan kamu.". Trus dilanjut si mas, "Jadi aku berharap kamu juga begitu ketika nanti datang ke Maroko. Kamu nggak usah khawatir, Insya Allah semua keluarga disana akan baik ke kamu. Bahkan kamu tau tiap aku telpon ummi, apa kata beliau??? -Nanti kalau Jannah sudah ikut kesini, kamu harus jagain dia dan memperhatikan dia berkali-kali lipat lebih banyak daripada ketika dia di Indonesia, karena disini dia sendiri dan jauh dari keluarganya, cuma kamu yang paling dekat dengannya.- Ummi itu orang yang paling senang waktu aku kasih tau kamu bakalan ikut aku ke Maroko. Setiap telpon pasti pesen banyak banget biar aku selalu baik ke kamu, jangan dibeginikan, jangan dibegitukan.".

Dan memang yang dibilang si mas bukan sekedar omongan. 2 minggu disini, kami ketemu keluarga ybs dimana-mana, mulai dari ummi dan kakak perempuannya yang kedepannya bakal tinggal bareng, jumpa abinya yang tinggal di kota yang berbeda, bahkan ketika jumpa adik-adik abinya si mas. Semuanya melontarkan ungkapan yang sama "jangan khawatir, meskipun kamu meninggalkan keluargamu di Indonesia, kamu punya keluarga baru disini, Insya Allah semuanya akan baik ke kamu.". Bahkan abi dan umminya bilang "Kami sudah redha Abdellah menikah dengan kamu, Insya Allah yang akan terjadi setelahnya akan di permudah oleh Allah.". Apa gak terharu saya dibuatnya.

So far, saya memang gak punya masalah soal beradaptasi. Bahkan Hamzah sempat membocorkan ke saya, ketika ummi memutuskan untuk mengapprove permintaan ta'aruf mas Abdellah yang datang dari negara jauh, Hamzah yang menyampaikan kekhawatiran soal kemungkinan kalau-kalau mba'nya akan diajak merantau ke negeri orang setelah menikah. Tapi kata ummi, "Nggak apa-apa, mba' Jannah itu orangnya mudah beradaptasi, dia pasti gak ada masalah kalau harus pindah ke luar negeri.". Coba deh bayangin, kalau ibu kamu saja sepercaya itu pada dirimu, yakali kamu malah pesimis dengan kemampuanmu.

Makanya, setelah Istikhara dan mengucapkan bismillah, saya sampaikan ke suami "Oke, ayo kita balik ke Maroko". Saya mencoba semakin percaya dengan janji Allah, kalau suamimu redha, maka Allah lebih redha lagi. Dan benar saja, sebulan setelahnya sekitar bulan Juli kami dapat kabar bahagia yang pertama. Bii idznillah, saya hamil. Waktu saya kabari Hamzah, he said "Tuh kan mba', baru redha mau ikut suami aja sudah dikabulkan Allah satu do'anya, apalagi kalau nanti sudah beneran berangkat.". Serius saya merasa malu sudah banyak drama cuma perkara ikut suami untuk pindah. Malu sama berliter-liter air mata yang keluar cuma gara-gara ngebahas soal kemungkinan untuk tinggal di luar negeri.

Padahal kalau kata suami "Tidak seharusnya kita menangis untuk perkara dunia, menangislah kalau amalanmu tidak cukup membawamu ke syurga dan maksiatmu terlalu banyak untuk membuatmu masuk ke neraka.". Iya aku tau masseeehh, tapi tetep sedih lah namanya harus berpisah meninggalkan tanah kelahiran dimana sudah 28tahun dihabiskan untuk tinggal disini.

Pada akhirnya kami beneran berangkat ke Maroko. Dan hari ini tanggal 28 November 2022 merupakan genap pekan ke-2 saya tinggal di negeri Maghribi. Banyak hal yang saya baru pertama kali rasakan disini, ada yang baik, ada juga yang buruk. Insya Allah dikesempatan yang lain akan saya lanjutkan tulisan ini.

Do'akan saya bisa beradaptasi dengan semuanya. Semoga saya dan keluarga selalu sehat dalam lindungan Allah, dimanapun kaki ini melangkah. Aamiin, aamiin, aamiin yaa rabbal'alamiin.
Emjannah
Perempuan absurd berusia 28 tahun (march 2022), yang kerap mengandalkan mood tiap mau nulis blog. Isinya kadang lawak, kadang serius, kadang curhat, kadang puitis. Tapi seringnya sih nyampah sama tulisan - tulisan tentang kesehariannya yang biasa - biasa aja.

Related Posts

Post a Comment