Menemukan Dunia Dengan Membaca
Saya pernah ditanya salah seorang murid ngaji saya yang masih SD waktu mereka lihat saya baca buku setebal ±300 halaman, "Mba' beneran baca buku setebal ini? Gak bosen?". Sambil tertawa saya jawab, "Nggak dong, kan seru. Mba' malah pernah baca yang lebih tebal lagi, 600'an halaman." Then mereka menatap saya dengan tatapan tak percaya.
Well, sebenarnya yang mereka tanyakan itu pernah juga saya tanyakan ke orang tua saya waktu saya masih seusia mereka. Waktu lihat ummi baca-baca buku yang tebalnya bukan main dan saya yang lihat saja merasa bosan melihat ummi baca buku setebal itu, tapi kok ya yang baca sepertinya menikmati sekali isi buku yang mereka baca.
Jadi gini, mungkin untuk sebagian orang membaca merupakan kegiatan yang sangat menyenangkan dan membuat seseorang kecanduan. Tapi bagi sebagian besarnya lagi, kegiatan ini cukup membosankan dan tidak menyenangkan. Nah, karena mindset yang tertanam sudah "membaca itu membosankan" akhinya terbentuklah pribadi-pribadi yang malas membaca.
Saya masih ingat, dulu ada salah seorang kawan saya yang tiap lihat saya baca buku kemudian memburu-buru saya untuk segera menamatkan buku tersebut. Kenapa? Apa karena dia ingin meminjam buku yang saya baca? Bukan. Saya pernah menanyakan itu padanya dan jawabannya, "Nanti kamu ceritain ke aku ya isi bukunya. Judulnya kaya'nya keren, tapi aku males bacanya." See, mereka cuma "malas".
Kita semua sama-sama tahu, budaya literasi masyarakat Indonesia masih sangat lemah. Masih banyak orang-orang kita yang malas membaca, dan hal itu tercermin dari prilakunya; Membuang sampah di area yang ada tulisan DILARANG MEMBUANG SAMPAH, merokok di tempat umum yang ada tulisan DILARANG MEROKOK, parkir di pinggir jalan yang ada rambu besar DILARANG PARKIR, bahkan sampai soal urusan buang hajat di lokasi yang terpampang besar tulisan DILARANG PIPIS DISINI SELAIN ANJING!!!
Padahal, ini semua adalah soal faktor pembiasaan yang akhirnya membentuk seseorang yang bisa bersahabat dengan buku dan menyukai kegiatan membaca. Saya (dan adik-adik saya) yang menyukai kegiatan membaca buku dari kecil sampai sebesar ini bukan karena bawaan orok atau ujug-ujug suka aja sama yang namanya buku. Tapi dibentuk dengan segala proses-prosesnya.
Saya suka membaca, karena kedua orang tua saya juga suka membaca (especially my mother).
Koleksi buku-buku pribadi beliau sejak jomblo sampai sekarang beranak tiga ada 2 lemari. Itupun dengan catatan ada sebagian buku-bukunya yang dipinjam dan sampai saat ini tidak dikembalikan oleh yang bersangkutan. Nah, jadi bagaimana cara yang dilakukan orang tua saya untuk akhirnya bisa membuat anak-anaknya juga kecanduan membaca?
Sebenarnya dalam case orang tua saya prosesnya lebih gampang untuk menularkan aktivitas suka membaca. Karena pada dasarnya ummi dan abi sudah suka membaca, sehingga otomatis saya dan adik-adik menyaksikan sendiri mereka banyak menghabiskan waktunya dengan membaca-baca buku.
Dengan sifat bawaan anak-anak yang gampang penasaran dan peniru ulung, akhirnya kami secara alami mulai ikut-ikutan buka-buka buku, pura-pura membaca (kalau belum bisa baca) atau dalam kasus ekstrim berakhir dengan tragedi penyobekan beberapa halaman buku karena masih cah cilik dan belum begitu paham fungsi dari buku tersebut. Namanya juga masih meniru, yakan.
Jadi bisa kita tarik kesimpulan, yang pertama harus dilakukan adalah ORANG TUA HARUS LEBIH DULU MENYUKAI KEGIATAN MEMBACA. Karena kalau kata saya sih, percuma mau ngotot nyuruh anak-anak untuk doyan baca, kalau di rumah yang sering disaksikan anak adalah ayahnya yang sibuk main hape dan ibunya yang sibuk nonton sinetron "Bunyi Qolbu bojone uwong". Yang ada juga mereka jadi candu main gadget dan candu nonton TV lah.
Nah, selanjutnya kalau orang tua secara sadar sudah menyukai kegiatan membaca, baru deh mulai proses selanjutnya agar anak-anak lebih menyukai buku, yaitu dengan menghadirkan buku-buku bacaan yang memang sesuai dengan usia mereka alias buku anak-anak.
Kalau dikeluarga saya, ketika ada cukup rezeki ummi akan membelikan anak-anaknya buku bacaan satuan; ntah itu buku do'a-do'a, buku cerita bergambar, dsb. Atau yang ekonomis tapi lumayan rutin itu, jajan majalah anak-anak bekas (Bobo, Orbit, dsb) bareng abi tiap sebulan sekali, ini malah yang paling istimewa karena abi membebaskan anak-anaknya untuk masing-masing memilih 3 buku yang disukai. Cerita lengkap soal belanja buku ini bisa dibaca di: Ya Allah Saya Khilaf bag 1
Intinya, soal belanja buku anak ini sebenarnya makin kesini kita makin dipermudah. Karena yang menerbitkan buku-buku anak Islami sudah banyak dan gak seperti jaman saya kecil dulu. Bahkan gak sedikit kan temen-temen kita yang menawarkan paket arisan untuk mendapatkan satu set buku bacaan anak? Tinggal kita (terutama yang sudah jadi orang tua) yang pintar-pintar menyisihkan rezeki untuk memberikan bacaan terbaik untuk anak-anak kita.
Cuma, saran saya jangan terlalu ngoyoh juga. Kalau memang belum sanggup untuk beli satu set buku, ya kan bisa beli satuan. Atau kalau belum bisa beli buku yang diterbitkan oleh penerbit tertentu yang harga bukunya selangit, kan masih ada pilihan penerbit lain yang menjual buku bacaan anak Islami dengan harga lebih terjangkau. Soal kualitas Insya Allah gak jauh berbeda kok.
Karena tujuan kita itu membiasakan anak menyukai kegiatan membaca. Belanja buku mahal kalau sampai bikin dapur tidak ngebul kan ironi juga. Apalagi kalau sampai hutang sana-sini. Jadi, berusahalah semampumu dan sebisamu. Buktinya dengan buku-buku bacaan anak bekas pun saya dan adik-adik bisa tetap mencintai kegiatan membaca.
Koleksi buku bacaan anak-anak di Perpustakaan Taman Qur'an Rumah Zakat kami. |
Terakhir, jangan terlalu memaksakan anak. Prinsipnya masih sama "Alah bisa karena biasa". Kalau mereka biasa melihat orang tuanya membaca, biasa melihat buku-buku bacaan di rumah, pada akhirnya mereka akan terbiasa untuk membaca. Dan semuanya bertahap.
Dulu waktu SD kelas 1-3 saya sangat suka komik atau buku cerita bergambar. Saya belum tertarik dengan novel anak yang tebal dan tidak ada gambarnya. Menurut saya buku bacaan yang tidak ada gambarnya membosankan. Tapi, dibeberapa kesempatan orang tua saya tetap membelikan saya novel anak. Sampai suatu ketika saya akhirnya penasaran dan mencoba membaca lembar-demi lembar. Dan disitu saya baru tahu kalau yang namanya novel itu lebih menyenangkan dari komik ataupun cerita bergambar.
Justru dengan tidak adanya gambar pada sebuah novel, kita jadi lebih bebas memvisualisasikan cerita yang kita baca dalam fikiran kita. Dan itu seru. Saya masih ingat sampai saat ini, novel pertama yang saya baca judulnya: Petualangan si Gun 1 & 2. Kalo saya gak salah ingat, bukunya bercerita tentang petualangan seorang anak bernama Gun yang terpisah dengan keluarganya sampai harus menjalani kehidupan sebagai pengamen di kota besar. Padahal Gun ini aslinya anak rumahan yang bisa dibilang manja.
Baru bertahap lagi, SMP saya mulai menyukai membaca buku-buku non-fiksi. Sampai sekarang saya tidak memiliki masalah membaca jenis buku apapun. Selama yang dibahas seru dan menarik, pasti saya baca.
Karena dari buku-buku ini saya semakin banyak tahu berbagai hal. Sebagai contoh, saya mungkin belum pernah ke luar negeri, tapi dari membaca buku Menemukan Indonesia (Panji Pragiwaksono: 2016) saya jadi tahu kalau toilet di China joroknya bukan main. Atau saya mungkin belum pernah berjumpa nabi Muhammad, tapi dari membaca buku Muhammad Teladanku (Tim Sygma: 2018) saya jadi tahu kisah kehidupan beliau bahkan sejak sebelum beliau dilahirkan.
Membaca membuka wawasan saya untuk mengetahui cara dunia ini bekerja dan cara menemukan dunia yang luar biasa tanpa harus beranjak dari tempat saya duduk. Banyak ulama-ulama besar kita yang sudah menghabiskan masa hidupnya dengan membaca beribu-ribu kitab.
Imam Nawawi salah seorang ulama besar mazhab Syafi'i bahkan membaca 12 kitab berbeda dalam satu hari. Ibnu Qayyim Al-Jauzi bahkan telah membaca 20.000 kitab sepanjang hidupnya. Lha kita? Baca satu buku yang tebalnya kurang dari 100 halaman saja bisa berbulan-bulan.
It's time to change. Kalau bukan kita yang mengawali, siapa lagi?? Kita gak mau dong anak-keturunan kita semakin jauh dari yang namanya membaca. Karena masa depan mereka semakin dipertaruhkan dengan lemahnya budaya literasi bangsa ini. Yuk membaca buku!^^
*Image source: pagelystaging.ventura.org
No comments: