Belajar Soal Kerukunan Dari Anak Kecil

January 14, 2021


Bicara soal kerukunan, saya yakin sama halnya dengan tenggang rasa & toleransi, masing-masing kita sudah khatam teorinya. Bagaimana tidak? kita sudah mempelajari ini sejak duduk dibangku SD, SMP, SMA bahkan sampai kuliah lewat mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Pancasila (PPKn).


Sayangnya khatam secara teori, tidak serta merta membuat kita jadi manusia dewasa yang mempraktikkan sikap yang mencerminkan kerukunan, tenggang rasa & toleransi. Kalian bisa temui itu semua disekitar kalian. Atau mungkin kamu dan saya sendiri adalah salah satunya.


Makin kesini, di Indonesia (atau bahkan di dunia) perbedaan-perbedaan soal ras, suku, bangsa & agama semakin jadi obrolan sensitif. Kata mayoritas-minoritas seolah jadi sesuatu yang bernilai jelek. Padahal, tak lelah saya mendengar kedua orang tua saya bercerita, kalau jaman mereka muda dulu, mereka baik-baik saja berkawan dengan siapapun; ntah berbeda suku, berbeda agama, atau bahkan berbeda strata sosial. Semuanya rukun.


Tidak jadi masalah yang muslim disebut mayoritas, karena memang pemeluk agama Islam di Indonesia jumlahnya terbanyak. Dan bukan sesuatu yang jelek juga ketika sebagai pemeluk agama Kristen di Indonesia disebut minoritas, karena secara bahasa minor itu artinya kecil/sedikit, dan itu sesuai dengan kenyataan di lapangan. Sama halnya ketika di Amerika Serikat umat Muslim disebut minoritas karena 70% warganya adalah penganut Kristen.


Tapi kenapa sekarang yang seperti ini justru jadi perdebatan?


Lihat saja yang akhir-akhir ini cukup heboh di sosial media, soal animasi Nussa & Rara yang dengan amat disayangkan harus menghentikan produksinya karena pandemi yang belum tahu kapan selesainya. Sampai akhirnya akan dirilis satu film layar lebar Nussa & Rara di bioskop-bioskop Nasional.


Masalahnya dimana??? Kan film ini bagus untuk anak-anak; diajarkan tentang akhlak, tata krama, dlsb. Toh yang diajarkan juga tentang sikap sehari-hari (seharusnya) seorang Muslim yang sudah diajarkan oleh baginda Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wassalam. Nilai-nilai yang diajarkan juga bersifat umum & universal, karena pada dasarnya Islam itu rahmatallil'alamiin, ya kan?



Lebih lucunya lagi, penolakan keras dengan bait-bait tuduhan penuh kebencian yang bawa-bawa soal "radikalisme" ini justru keluar dari mulut-mulut mereka yang mengaku "Muslim". Lucu kan??? Ada "Muslim" yang justru benci dengan ajaran agamanya sendiri.


Padahal waktu saya baca di kolom reply salah satu akun yang mengutarakan ujaran kebenciannya pada film Nussa & Rara ini, ada balasan dari seseorang yang mengaku beragama Kristen yang suka nonton Nussa & Rara di youtube, bahkan salah satu anggota keluarganya yang guru agama Kristen membolehkan anaknya nonton Nussa & Rara. Dia bahkan meng-closing balasannya dengan kalimat "Jangan terlalu ekstrem menanggapi sesuatu".


See, yang agamanya berbeda dengan kita saja bisa lebih bijak berkomentar, kok kamu yang mengaku "Muslim" komentarnya malah tandensius sekali.


Oke, sebelumnya saya mau cerita sedikit soal kejadian yang saya saksikan sendiri beberapa hari yang lalu waktu diajak ummi ikut kegiatan Liqo' Tarbawi ke sebuah tempat wisata. Waktu itu, kawan-kawan ummi yang lain juga bawa anak-anak mereka, dan ada beberapa dari mereka yang masih bocil (bocah cilik).


Sebut saja nama mereka Habib & Hilwa. Karena tempat wisata yang kami datangi ini cukup besar, akhirnya Habib & Hilwa yang bisa dibilang sebayaan sibuk menjelajah kesana kemari berdua. Mulai dari lihat-lihat kebun binatang, main ayunan, dsb. Waktu itu, kami menggunakan sebuah gubuk sebagai tempat beristirahat. Jadi yang mamak-mamak dan anak-anaknya yang sudah besar-besar memilih untuk duduk-duduk saja di gubuk.


Tiba-tiba menjelang siang, Habib & Hilwa ini balik ke gubuk untuk minum dan diikuti oleh seorang anak perempuan sebaya mereka yang awalnya saya kira chinesse, tapi setelah dengar abang si anak perempuan yang juga mengikuti ngomong dengan logat bahasa sumatera yang kental, kata ummi kemungkinan dia orang Nias. Karena di Nias wajah penduduk lokalnya banyak yang seperti orang China.


Nah, usut punya usut, ternyata si anak perempuan ini dari tadi bermain dengan Habib & Hilwa. Makanya waktu mereka pergi, dia juga nyintil ikutan. Abangnya panik dong, akhirnya ngikutin adeknya. Maksudnya mau ngajak adeknya balik ke rombongan keluarga mereka. Tapi si adek masih pengen main dengan kawan barunya. Alhasil terjadilah drama si abang yang sibuk menarik-narik tangan adeknya dengan paksa, tapi si adek tidak bergeming sedikit pun.


Beberapa kali si abang meninggikan suaranya, sampai diancam "Nanti kutinggal kau disini ya!", si adek tidak peduli malah semakin mendekati Habib & Hilwa. Akhirnya si abang benar-benar meninggalkan adeknya sambil keluarganya tetap memperhatikan dari jauh. Selesai istirahat baru kemudian Habib, Hilwa & anak perempuan tadi balik lagi ke taman untuk melanjutkan bermain bersama. (Btw, foto diawal postingan adalah foto mereka bertiga ya...^^)


Melihat penampilan keluarga si adek dan sikap abangnya yang terlihat tidak nyaman waktu menjemput adeknya yang sedang bermain dengan Habib & Hilwa, dugaan saya mungkin mereka orang non-muslim. Karena yang saya tau selama tinggal di Sumatera Utara, orang sini yang Muslim itu meskipun di rumah atau sehari-hari cuma dasteran dan gak pakai jilbab, saat pergi ke tempat umum mereka pasti pakai jilbab.


Nah, yang mau saya soroti disini bukan soal agama, suku, ras, dsb. Saya mau mengajak kita semua belajar dari Habib, Hilwa & anak perempuan tersebut. Sebegitu polos dan murninya anak kecil. Mereka kalau mau main bareng, ya main aja.


Gak jadi soal "kamu agamanya beda dengan agamaku", gak jadi masalah "kamu orang batak, aku orang jawa", gak dibikin ribet "kamu bajunya kaya' orang gurun pasir, aku bajunya orang indonesia banget pake' batik". Yang penting sama-sama suka main ayunan, sama-sama suka nonton upin-ipin, sama-sama suka makan nasi goreng dan segala macam kesamaan lainnya.


Bisa gak sih sekali aja kita gak fokus dengan perbedaan-perbedaan tapi justru mencari kesamaan?? Dan bisa gak sih yang udah sama juga gak perlu mencari-cari perbedaan?? Maksud saya, yaudah kalau kamu gak mau berislam secara kaffah gak perlu mengusik orang lain yang berusaha berislam secara kaffah.


Belajar dari anak kecil yang tidak mempedulikan soal suku, ras, bangsa & agama dalam berkawan. Karena ajaran kebaikan itu sifatnya universal. Adalah hak masing-masing dari kita untuk meyakini apa yang benar menurut kita, tapi ingat ada hak orang lain juga untuk meyakini yang benar menurut mereka. Kerukunan itu bukan melulu soal kita semua harus seragam, seiya , sekata. Tapi bagaimana bisa menekan perbedaan dengan berfokus pada apa kesamaannya.


Ingat, kita sama-sama manusia, sama-sama anak cucu adam (kecuali kalian percaya teori Darwin kalau moyang kalian adalah Kera).


Indonesia dengan segala keragaman budaya, suku, bahasa & agamanya. Bukan hal mudah untuk mempersatukan Indonesia, makanya berhenti menjadikan perbedaan sebagai alasan untuk bertikai. Jangan beri ruang dan panggung untuk orang-orang yang ingin memecah belah bangsa ini. Tidak perlu meladeni mereka dengan mendebat, karena kebenaran yang kita sampaikan tidak akan pernah menembus hati mereka yang sudah tertutup kebencian.


Do'akan saja, semoga Allah masih bersedia memberikan hidayah-Nya. Karena tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah bila Ia berkehendak.


Yuk, perbaiki lagi akhlak kita terhadap orang lain yang berbeda dengan kita. Berhenti bersikap esklusif dan membeda-bedakan. Bertemanlah dengan siapapun selama masih dalam rambu-rambu syar'i. Jangan sampai sikap kita memberikan pengaruh negatif kepada anak-cucu kita sampai akhirnya mereka besar jadi orang yang suka membesar-besarkan perbedaan atau bahkan membenci orang lain yang berbeda.


Oke, lagi-lagi jadi tulisan yang cukup panjang. Terima kasih sudah membaca sampai akhir, semoga ada manfaat yang bisa kalian peroleh. See you on my next post...^^

No comments:

Powered by Blogger.