Kapan Kamu Mulai "Bucin" Dengan Pasangan(halal)mu?
Cinta, sampai sekarang lima kata ini selalu jadi hal paling misterius bagi saya. Saya masih inget waktu SMP saking penasarannya dengan definisi cinta, saya sampai borong semua buku-buku yang judulnya ada cinta-cintanya. But still, gak dapat penjelasan yang bisa kasih paham secara utuh tentang cinta. Secara ya, that time juga aing masih bocil, kepo tentang definisinya tapi belum ngerasain ditabok cinta sampai benjut kaya' orang-orang.
Jadi, bisa disimpulkan yang namanya cinta itu sebenarnya tidak terdefinisi. Karena ketika diartikan, bisa jadi antara satu orang dan satu orang lainnya punya interpretasi sendiri mengenai cinta. Belum lagi cinta itu banyak bentuk dan objeknya. Mulai dari yang tertinggi mahabbatullah, cinta kepada Tuhan. Trus cinta kepada manusia; bisa ke orang tua, pasangan, anak, dsb. Cinta kepada sesama makhluk hidup selain manusia; hewan dan tumbuh-tumbuhan. Dan terakhir cinta terhadap benda; uang, harta, mainan, dsb.
Makanya tidak ada satu definisi pun yang bisa mewakili apa itu cinta. Karena objeknya sendiri ada banyak. Nah, hari ini saya pengen ngebahas sedikit tentang cinta kepada pasangan. Tapi please sebelum dimulai mohon digaris bawahi bahwa cinta kepada pasangan disini adalah kepada dia yang sudah jadi pasangan halal kita ya. Jadi, buat doi-doi yang statusnya cuma gebetan, crush, pacar, hubungan tanpa status apalagi friend with benefit jauh-jauh dah. Tulisan ini tidak diperuntutkan bagi kalian.
Tapi Baru Kenal, Apa Bisa Cinta?
Pertanyaan seperti ini sebenarnya sejak sebelum saya menikah pun selalu jadi sesuatu yang menari-nari dibenak saya. Kok bisa ya dua orang yang kenalan via ta'aruf, yang terkadang dua-duanya sama-sama asing, tapi bisa berkomitmen untuk menjalani hubungan dan menumbuhkan benih-benih cinta setelah menikah???
Iya, cinta kan yang sering jadi alasan orang-orang melanggar syari'at dengan berpacaran sebelum menikah. Atas nama penjajakan sebelum pernikahan, padahal mah karena mereka gak yakin, yakali baru jumpa langsung nikah. Memangnya bisa saling mengenal? Bisa saling mencintai?? Well, tapi kenyataannya memang bisa. Semudah itu bagi Allah untuk menumbuhkan cinta di hati dua insan yang memutuskan membingkai kasih dalam ikatan yang suci bernama pernikahan. Toh, tidak ada jaminan dengan bertahun-tahun mencintai ketika berpacaran trus kamu menikah dengan si dia. Saya lihat sendiri casenya di sekeliling saya. Buanyaaakkk.
Karena katanya, ketika kamu mencintai sebelum menikah, sebenarnya kamu bukan mencintai dia yang sebenar-benarnya. Lha kok? Karena semua kebaikan-kebaikan yang kamu dan dia perlihatkan hanyalah untuk sekedar saling menyenangkan. Kalian akan berusaha menyembunyikan semua sifat-sifat buruk yang ada ketika berjumpa. Sementara ketika kamu menikah, kamu belajar mencintai pasanganmu bahkan setelah mendapati dirinya kang naroh handuk basah di atas tempat tidur atau ketika kamu mendapati aroma kentutnya luar binasa.
But, back to the question again "apa bisa cinta?". Bisa gaes, bisa banget. Kan udah dibilang, it's easy for Allah to make it happen. Apalagi disini kita bicaranya tentang suatu prosesi yang melibatkan Allah, semata-mata dengan niat beribadah kepada Allah. Nothing is impossible for Allah, say. Cuma yang jadi soal, kamunya lebih mau nurut sama syari'at Allah atau lebih mau nurut sama hawa nafsu.
Jadi, Kapan Kamu Mulai Mencintai Pasanganmu?
Kalau ditanya seperti ini, sebagai seorang perempuan yang bahkan belum genap satu tahun ganti status jadi seorang istri, saya pun gak yakin kapan saya mulai mencintai mas suami. Tapi yang jelas saya yakin banget tiap hari saya makin dibuat jatuh cinta dengan ybs. Meski jujur kadang masih suka gak kebayang, kok bisa ya saya mencintai laki-laki asing ini. Aneh, tapi memang beneran kejadian.
Pertemuan saya dengan si mas secara face to face adalah melalui video call keluarga. Apakah saat itu sudah mulai cinta? Saya sih yakin banget nggak. Karena that time, saya masih melihat laki-laki ini ya sekedar seseorang yang mungkin bakal jadi suami, mungkin juga nggak. Apalagi mengingat kami yang terpisah jarak, belum lagi pandemi yang tak kunjung usai. Jadi jujur saya nggak menaruh banyak harapan kalau ini akan 100% berakhir happy ending, tapi pada intinya apapun hasil akhirnya nanti karena sudah istikhara, ya itulah yang terbaik menurut Allah.
Baru kemudian pertemuan langsung secara fisik untuk pertama kalinya ketika ybs tiba di Sumatera Utara, setelah merampungkan semua urusan pemberkasan di Jakarta. Hamzah menemani ybs untuk mampir rumah karena ada beberapa pembicaraan terkait kapan waktu lamaran dan akad akan dilakukan.
Nah, piye rasane jumpa langsung untuk pertama kalinya? Grogi setengah mati euy. Saya yang awalnya udah prepare begini-begitu auto mati kutu pas si mas sudah duduk manis di ruang tamu. Sampai dimarahin ummi karena sembunyi di kamar tamu dan gak berani menampakkan diri. Mana ummipun bukannya peka untuk menjemput anak gadisnya dan menggandengnya keluar, saya malah dimarahin. Sampai si mas bilang "Nggak apa-apa, kalau jannahnya gak mau keluar jangan dipaksa." Terakhir saya hampir nangis beneran saking ngerasa malunya untuk keluar. Baru ummi nyamperin untuk menggandeng saya ke ruang tamu, karena gak mau kalau sampai si mas salah paham dikiranya saya begini karena gak mau nikah dengan ybs.
Apakah waktu itu sudah tumbuh benih-benih cinta? I'm 100% sure, belum. Saya lebih ke ngerasa malu, karena memang gak biasa jumpa laki-laki asing. Literaly a foreign. Apalagi ini laki-laki yang bakal jadi calon suami. Jadi rasanya tiba-tiba aja malu setengah mati. Padahal ya biasa kelakuannya lebih sering malu-maluin.
Pertemuan berikutnya adalah ketika khitbah/lamaran. Tepatnya dua hari setelah ybs sowan dengan Hamzah ke rumah. Yes, semuanya dilakukan serba kilat karena mengingat penantiannya juga udah terlalu lama. Apakah waktu itu saya sudah mulai mencintai si mas? Wkwk, belum. Jangankan pas khitbah, even pas si mas selesai mengucapkan akad di hari walimah dan malamnya kami resmi tidur bareng as suami istri yang kelelahan karena resepsi pun saya merasa belum mencintai ybs. Ya ngerasanya cuma kaya' "Oh, aku udah nikah ya? Udah jadi istri orang beneran." Udah gitu aja.
Saya sadar saya mulai menaruh simpati dengan beliau, ketika disalah satu kesempatan kami berdua berangkat ke Medan untuk silaturahmi sekaligus jalan-jalan tipis ke istana Maimun. Sepanjang jalan si mas beneran menunjukkan perhatiannya, ya yang bisa jadi sebenernya biasa aja. Cuma untuk seorang Jannah yang gak pernah pacaran, bahkan gak pernah berdua-duaan dengan laki-laki selain abi dan adik kandung, beneran jadi first experience. Tangan si mas yang auto ngegandeng tiap mau nyebrang jalan, si mas yang kasih saya tempat duduk di angkutan umum yang aman dari himpitan penumpang laki-laki lain, termasuk berulang kali nanya "capek?" karena ybs tau saya nggak hobi jalan kaki. Bahkan hal kecil seperti mengingatkan untuk istirahat dan minum air putih, karena beliau tau saya orang yang suka lupa dan bisa tahan seharian gak minum air putih.
Di rumah pun si mas sangat perhatian. Tiap ybs makan kurma, pasti gak lupa untuk nyuapin istrinya dengan kurma yang sudah dibuang bijinya, padahal saya gak minta. Ngingetin do'a sebelum tidur. Ngebangunin qiyamullail dan menawarkan untuk sholat bareng. Termasuk ngevideo call saya ketika sedang di sekolah sekedar nanya, "Sudah sarapan? Jangan lupa minum air putih."
Dari situ mulai terbesit dibenak saya, kok orang ini baik banget sih, padahal baru kenal, baru pertama kali jumpa, tapi dia benar-benar memperlakukan saya dengan sangat baik. Habis itu disusul perasaan bersalah, kok kaya'nya saya malah nggak ada apa-apanya dibandingkan si mas. Masih sering abai dengan ybs padahal sudah jadi istrinya. Suka ninggalin si mas sendiri di kamar, sampai dimarahin ummi "Mbak ini, suaminya sering banget ditinggal sendirian! Dikawanin sana loh!". Duh, kok kamu tega ya Jan, padahal dia mbelan-mbelani meninggalkan ibunya disana untuk menikah dengan kamu. Saya pun bertekad, ah, saya harus mencintai dan memperhatikan laki-laki ini lebih daripada yang sudah dilakukannya. He's a good man. Seseorang yang too good to be true dan kalau selain bukan karena izin Allah dia gak akan jadi suami saya.
Bagaimana Rasanya "Bucin" Dengan Suami Sendiri?
Kalau ditanya begitu, jawaban saya; ya bahagia dong, apalagi?! Setiap detiknya bernilai ibadah. Tidak ada dosa, yang ada malah diganjar pahala. Saya gak bisa bilang saat ini sudah 100% mengenal si mas, karena sejatinya ta'aruf itu adalah proses seumur hidup setelah terjadinya akad. Ta'aruf akan terus berlangsung selama kamu menjalani bahtera rumah tangga dengan ybs. Disitulah cinta benar-benar diuji sekaligus dipupuk agar semakin berakar kuat dalam bingkai keimanan. Makanya saya bilang diawal, tidak ada jaminan kamu mengenal 100% pasanganmu sekalipun kamu sudah belasan tahun berpacaran. Lagian, pacaran kok lama kurang lama, udah kaya' kredit kendaraan atau KPR rumah aja. Berpahala nggak, berdosa iya. Udah gitu bonus diprank setan "ciee jagain jodoh orang!" Makan hati gak tuh.
Menikah dengan si mas juga semakin menguatkan keyakinan saya, bahwa apa yang dijanjikan Allah di Q.S. An-Nur ayat 26 adalah benar adanya:
"Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (surga)."
[Q.S. An-Nur: 26]
Saya gak berani bilang kalau saya sudah baik, karena saya sadar sebagai manusia saya masih berproses untuk terus memperbaiki diri. Tapi saya berani dengan bangga bilang kalau saya tidak pernah pacaran karena saya tau itu dosa. Dan Allah beneran menjodohkan saya dengan seorang laki-laki yang juga tidak pernah pacaran karena paham pacaran itu dosa.
Bahkan disatu kesempatan, saking masih ngerasa gak nyangkanya bisa berjodoh dengan si mas, saya pernah tanya ybs "Dulu kamu sebelum nikah apa gak pernah nyoba cari istri di Maroko?". Kalian tau kata si mas, "Sejak 2019 aku punya keinginan untuk menikah dan menyampaikan hal tsb ke ummi. Beliau pun nyoba bantu carikan lewat teman-temannya. Tapi ya namanya belum jodoh. Ada yang perempuannya baik, tapi ternyata keluarganya kurang baik jadi ummi gak setuju. Ada yang keluarganya baik dan mau aku menikah dengan anak perempuannya, tapi ternyata anak perempuannya yang gak mau. Banyak lah, sampai akhirnya aku putuskan untuk coba daftar di platform ta'aruf online tsb. Yang akhirnya mempertemukan aku dengan kamu."
See, semua yang dilakukan dengan melibatkan Allah, tidak ada yang tidak mungkin atau mustahil bagi-Nya. Saya gak pernah kebayang kalau bakal berjodoh dengan si mas yang orang Arab, sama seperti halnya si mas mungkin gak pernah menyangka kalau calon istrinya justru keselip di Indonesia.
Kita berdua sama-sama bukan tipe orang yang verbal mengungkapkan cinta, but i know he loves me through everything he did so far, meskipun mood swing saya suka bikin ybs gemes. Dan saya tau, saya pun mencintainya dari hari kehari meskipun saya gak suka bau mulutnya tiap habis ngelalap bawang putih. Kita sama-sama berterima kasih ke Allah, kalau bukan atas kehendak-Nya kaya'nya gak mungkin kami bertemu, menikah dan sekarang tengah menghitung hari menanti buah cinta pertama kami hadir ke dunia. Intinya, gak ada yang gak mungkin bagi Allah, selama kamu menggantungkan harapan hanya pada-Nya. Bukan pada yang lain, apalagi pada manusia.
Semoga kalian yang membaca ini sampai akhir senantiasa berada dalam lindungan Allah dimanapun kalian berada. Yang sudah bertemu jodohnya, dikuatkan cintanya. Yang belum bertemu jodohnya, didekatkan dengan jodohnya. Yang masih hobi jagain jodoh orang, diberikan hidayah segera, agar terputus rantai dosa yang membelengu. Aamiin yaa rabbal'alamiin..
No comments: