Pernah Alim atau Pernah Nakal?

Post a Comment
Awal tahun, saatnya ngebahas sesuatu yang sersan; serius tapi santai. Kan biasanya akhir tahun itu identik dengan kegiatan refleksi atau muhasabah diri. Sedangkan awal tahun diisi dengan evaluasi sebelum mengawali hari di tahun yang baru berganti.
Jadi markimul; mari kita mulai!

Judul tulisan kali ini sebenarnya berangkat dari keresahan diri sendiri ketika melihat fenomena orang-orang di sekitar saya yang dulunya alim luar biasa, pakai gamis, jilbab lebar-lebar, sama-sama alumni pesantren, tapi karena satu dan lain hal yang sebab-musebabnya hanya diketahui yang bersangkutan dengan Tuhannya, para kawan ini berubah.

Akhirnya saya tergelitik untuk membuat tulisan ini. Judulnya seolah bicara pilihan, mending mana; Disebut pernah alim atau pernah nakal???
Kalau normalnya manusia, tentu lebih baik disebut pernah nakal daripada disebut pernah alim.

Karena ketika kamu disebut pernah nakal, artinya dulu itu kamu nakal, tapi sekarang sudah nggak nakal lagi, sudah jadi lebih baik. Ada makna tersirat bahwa kamu berubah jadi lebih baik dari sebelumnya dengan sebutan pernah nakal tadi.

Beda ketika kamu disebut pernah alim, itu artinya kamu dulu adalah seseorang yang sholeh atau minimal hanif, tapi pada akhirnya kamu berubah menjadi lebih buruk dari yang lalu. Bisa dalam hal keimanan, akhlak atau bahkan cara berpakaian.

Kalau pendapat saya pribadi sih, kedua hal tadi sebenarnya bukan sesuatu yang pantas dibanggakan. Kamu pernah alim, bukan sesuatu yang layak disombongkan, mengingat pernyataan tadi mengungkapkan adanya kemunduran yang terjadi pada dirimu. Kamu pernah nakal juga bukanlah sesuatu yang layak dipamerkan, karena itu merupakan sebuah kekurangan atau bahkan aib yang seharusnya engkau simpan rapat-rapat hanya sebatas pengingat bagi diri sendiri, agar kelak di masa depan tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama.

Tapi hal yang mau saya soroti disini ada di ungkapan pertama, pernah alim. Banyak teman-teman diluar sana yang berbangga dengan kemunduran yang dialaminya. Tidak peduli atau tidak ambil pusing dilabeli "pernah alim", karena baginya manusiawi kalau sebagai manusia berbuat keliru. Dan ini banyak dialami oleh mereka-mereka yang mengenyam pendidikan di pesantren. Sekian tahun atau bahkan belasan tahun nyantri seolah tak meninggalkan bekas setelah ybs menjadi alumni.

Mari kita bicara salah satunya, dari segi berpenampilan atau berpakaian. Dulu pakai gamis, sekarang bercelana ria. Dulu berjilbab lebar menutup dada, sekarang berjilbab minimalis yang terkadang berbahan nerawang. Dulu keluar kamar asrama berkaos kaki, sekarang ke mall pun santai tak berkaos kaki. Beberapa kasus yang ngenes bahkan sampai merasa ringan dan nyaman melepas hijab yang sekian lama telah dikenakan.

Sedih, tapi ya gimana. Bahkan pengingat dari beberapa kawan seperjuangan tidak diindahkan dan selalu berakhir dengan pemblokiran nomor kontak atau akun sosmed. Prinsip mereka kalo nggak suka ya tidak usah berkawan, kok repot. Padahal mengingatkan saudara kita yang melakukan kesalahan itu merupakan kewajiban seorang muslim.

Dari yang saya perhatikan, lingkungan punya peran besar dalam menjaga keistiqamahan. Dulu di pesantren kita bisa bertahan dengan segala ajaran-ajarannya karena semua yang ada disana menerapkan dan memelihara betul apa yang sudah diajarkan (ya ada sih yang bandel-bandel sedikit, tapi intensitasnya tidak banyak dibanding yang baik beneran). Sementara setelah keluar, kita dihadapkan dengan macam-macam lingkungan pergaulan.

Saya malah masih ingat, dulu ketika di kampus saya pernah pakai jilbab lebar-lebar seperti di pesantren, saya diledeki teman kuliah "Jan, UIN bukan disini, kamu gak salah kampus kan?". Saya tahu mereka bercanda, jadi gak saya ambil pusing. Tapi ini bukti, kalau orang lain cendrung mencap kalian aneh ketika kalian tidak sama dengan orang-orang di lingkungan kalian.

Apalagi manusia punya kecendrungan untuk terseret arus, ntah itu arus kebaikan atau arus keburukan. Makanya keistiqamahan itu penting dipelihara dengan memilah-milih lingkungan pergaulan kita. Apalagi kalau kamu tipe manusia yang gampang galau. Ketika berkumpul dengan kelompok A yang rajin ke pengajian dia bergamis-gamis syar'i, tapi ketika berkumpul dengan kelompok B untuk nongkrong di mall, ditanggalkannya semua yg berbau syar'i.

Padahal seorang muslim yang baik itu seharusnya mewarnai, bukan malah ikut terwarnai. Kalaulah memang kamu khawatir terwarnai, lebih baik hindari. Saya yakin ada banyak komunitas-komunitas kebaikan yang bisa kita ikuti disekeliling kita, dimanapun kita berada.

Saya pribadi meski beberapa kali tinggal di lingkungan yang berbeda-beda, tidak pernah berani membuang semua ajaran-ajaran yang pernah saya dapat di pesantren. Saya gak sampai hati kalau harus berkeliaran kesana kemari tanpa kaus kaki. Saya tidak berani mengundang amarah Allah saat berinteraksi berlebihan dengan lawan jenis. Saya malu kalau harus pakai jilbab berbahan transparan, apalagi sampai jambulnya kemana-mana.

Bomat aja dah dikatain mahasiswa UIN nyasar ke kampus orang, prinsip saya "saya bebas selama tidak menyalahi aturan syari'at". Yang membatasi saya hanyalah syari'at. Selama syari'at tidak saya langgar, yaudah saya bisa berteman dengan siapapun. Toh normalnya manusia tidak bergaul dengan manusia lainnya karena penampilan. Kalau kata ummi, "jadilah orang baik dimanapun kamu berada, maka Allah akan mempertemukanmu dengan orang-orang yang baik juga". Jadi 13 tahun di Jawa dan 2 tahun pulang ke kampung halaman, Alhamdulillah saya selalu bertemu dengan banyak orang-orang baik. Kalau ada yang menjauhimu karena engkau memegang teguh prinsipmu, well percayalah, itu cara Allah menjauhkanmu dari orang-orang yang bisa jadi di masa depan akan membawa banyak madharat untukmu.

Intinya, jangan bangga disebut orang pernah alim dan malulah jika disebut orang pernah nakal. Jangan berhenti berbuat baik dimanapun kita berada. Buat orang-orang mengingatmu karena kamu selalu jadi orang baik. Bukan yang pura-pura baik, tapi yang baiknya tulus dan lahir sebagai buah dari keimanan.

Semoga saya, kamu dan kita semua bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi di tahun ini. Aamiin yaa rabbal'alamiin...

Yuk isi lembar-lembar baru tahun ini dengan lebih banyak kebaikan!^^
Emjannah
Perempuan absurd berusia 28 tahun (march 2022), yang kerap mengandalkan mood tiap mau nulis blog. Isinya kadang lawak, kadang serius, kadang curhat, kadang puitis. Tapi seringnya sih nyampah sama tulisan - tulisan tentang kesehariannya yang biasa - biasa aja.

Related Posts

Post a Comment