Patah: Prolog
Jam sudah
menunjukkan pukul 13.00 WIB ketika Fathin sedang bersiap-siap mengeluarkan
sepeda dari garasi rumahnya. 5 menit yang lalu ia baru saja menerima pesan Whatsapp
dari adik mentoringnya Hima, yang memberitahukan bahwa sudah tiba di Teras
Café, tempat mereka janjian untuk bertemu. Setelah selesai melepaskan gembok di
rantai sepeda, Fathin langsung memacu sepeda kesayangannya tersebut menembus
keramaian jalanan kota Jogja.
Hari ini
Indonesia sedang menghadapi puncak musim kemarau. Itu sebabnya suhu udara kota
Jogja di siang hari bisa mencapai 34° celcius, sedangkan suhu udara di malam
hari turun drastis hingga mencapai 16° celcius. Hal ini membuat bersepeda yang
biasanya menyenangkan jadi terasa sangat melelahkan karena suhu udara yang
panas luar biasa. Untungnya Teras Café tempat Fathin janjian dengan Hima dekat
dari rumah, sehingga tidak memakan waktu yang lama untuk tiba di tempat tujuan.
Fathin langsung
mencari tempat parkir teduh yang belum terisi, kemudian tak lupa merantai
sepeda dan menguncinya dengan gembok. Yah, meskipun sepeda miliknya terbilang
sudah sangat uzur tapi Fathin tidak ingin ambil resiko kehilangan kendaraan
kesayangannya tersebut karena membiarkannya tak terkunci. Fathin mengeluarkan
handphone miliknya dan langsung menulis pesan di Whatsapp mengabari Hima kalau
dirinya sudah tiba di parkiran Teras Café.
“Hima, kamu dimana? Aku udah diparkiran
Teras Café nih”.
“Oke kak, tunggu, aku jemput kebawah”.
Balasan Hima langsung tiba sesaat setelah Fathin mengirimkan pesan. Tak menunggu
waktu lama, Hima muncul di parkiran sambil cengengesan tidak jelas. Fathin yang
melihatnya jadi heran kemudian bertanya.
“Kamu kenapae
Him? Dateng-dateng cengengesan gak jelas”.
“Nggak apa-apa
kak, barusan aku ketemu mas-mas ganteng kak…”. Mendengarkan jawaban adik
binaannya tersebut Fathin langsung menyela.
“Astaghfirullah Him, Istighfar kamu. Baru
pekan lalu kan aku kasih materi tentang ghadul
bashar. Masa’ hari ini udah jelalatan gitu”. Hima yang tak terima disebut
jelalatan kemudian langsung menjawab sambil memasang wajah bête.
“Ih, siapa yang
jelalatan sih kak. Dia itu tetanggaku pas dulu rumahku masih di Godean. Masnya
tuh tadi nyapa aku, trus kita ngobrol bentar. Dan aku baru tau kalau ternyata
kantor tempatnya kerja itu di persis di
lantai 3 gedung Teras Café. Kak Fathin mah su’udzhon banget”. Fathin kemudian
tersenyum dan membalas perkataan Hima.
“Loh gak
su’udhon Him. Habisnya kamu juga bilangnya: barusan aku ketemu mas-mas ganteng
kak. Gimana aku gak salah paham coba”.
“Lha kak Fathin
juga sih, aku belum kelar ngomong udah dipotong”.
“Iya-iya maaf
deh Hima, gitu aja marah. Yaudah yuk masuk, panas banget ini loh diluar. Aku
traktir jus alpukat kesukaan kamu deh”. Hima yang biasanya paling bahagia
mendengar kata traktir masih tak bergeming dan tetap memasang wajah cemberut.
“Masa’ cuma jus
alpukat doang sih kak? Sama tahu bakso ya?” Fathin tertawa kecil melihat
kelakuan Hima yang berusaha bernegoisasi padahal sedang ngambek. “iya boleh deh
Him. Apa sih yang enggak buat kamu”.
Mendengar kata
traktir, wajah Hima langsung berbinar dan melingkarkan tangannya dilengan
Fathin. “Nah, gitu dong kak. Kan sama-sama seneng”. Fathin cuma geleng-geleng
kepala melihat kelakuan salah satu adik binaan kelompok mentoringnya tersebut.
Mereka kemudian berjalan menuju pintu masuk Teras Café.
***
“Oke mba’, saya
ulangi lagi pesanannya: jus alpukat satu, es teh satu, tahu bakso special satu,
cheese chicken steaknya dua, sama chicken skin crispy satu. Ada tambahan lain
kak?” Seorang pramusaji perempuan yang sedang bertugas membaca ulang pesanan
makanan dan minuman Fathin dan Hima.
“Udah mba’ itu
aja, bayarnya sekarang sekalian mba’?” Tanya Fathin kepada pramusaji tersebut.
“Nanti aja
nggak apa-apa mba’. Mohon ditunggu sebentar ya mba’.” Pramusaji tersebut
tersenyum kemudian meninggalkan meja Fathin dan Hima untuk menyiapkan makanan
yang sudah dipesan.
Teras Café ini
merupakan tempat makan yang cukup popular di kota Jogja. Selain karena
tempatnya yang memang nyaman buat berlama-lama ngobrol dan kumpul-kumpul, harga
menu makanan dan minuman yang ditawarkan juga relatif murah. Belum lagi wifi
dengan kecepatan unlimited yang disediakan untuk pengunjung membuat kafe ini
tak pernah sepi peminat. Untunglah hari ini kafe tidak terlalu ramai, karena memang
sekarang sudah memasuki pekan kedua libur semester genap anak-anak kuliah. Yang
artinya populasi Jogja yang kebanyakan adalah pendatang pelajar dan mahasiswa
jadi sedikit berkurang karena pada pulang kampung.
Fathin
mengeluarkan tablet 7inchi miliknya untuk menunjukkan contoh desain logo baru
untuk brand kerudung milik ummi Hima. Ya, tujuan mereka bertemu hari ini bukan
karena soal mentoring pekanan mereka, melainkan untuk urusan pekerjaan. Fathin
sebagai penyedia jasa desain grafis, sedangkan bu Yuni, ummi Hima (yang
diwakilkan oleh Hima) sebagai klien.
Sudah hampir 1
tahun terakhir Fathin aktif menawarkan jasa desain mendesain miliknya. Pada
awalnya customernya masih sebatas teman-teman dekat, kemudian naik tingkat jadi
kenalan teman-temannya. Sampai akhirnya sekarang ia mengelola website yang
menawarkan jasa desain secara online dan sudah memiliki customer sampai ke luar
negeri. Fathin sendiri tak menyangka kalau keputusannya berhenti bekerja
sebagai seorang customer service disebuah perusahaan advertising membuatnya
lebih bisa menikmati pekerjaan dan hobi secara bersamaan.
Fathin sendiri
lebih dulu kenal dengan ummi Hima sebelum akhirnya Hima jadi salah satu adik
binaannya. Waktu itu ia sedang ada urusan di rumah mba’ Aisyah, murobbinya yang
beberapa hari sebelumnya minta tolong dibuatkan stiker label sederhana untuk
jualan camilan. Kebetulan ummi Hima yang juga teman murobbinya sedang bertamu
dan tidak sengaja melihat desain yang sudah dicetak menjadi stiker. Beliau yang
tertarik dengan hasil desain Fathin yang rapih dan unik kemudian minta tolong
untuk dibuatkan logo untuk brand kerudung yang baru akan dibuat. Ya, keluarga
Hima adalah keluarga pengusaha tulen. Entah berapa banyak bidang usaha yang mereka
miliki, baik yang dikelola sendiri maupun partnership dengan orang lain.
Selanjutnya,
ummi Hima jadi sering menggunakan jasa desain miliknya dan menjadi klien tetap
yang bahkan tak jarang ikut membantu mempromosikan jasa Fathin kepada
teman-teman mereka di komunitas pengusaha muslim.
Fathin akhirnya
bertemu Hima ketika ia ditawari untuk pegang mentoring sesuai minat dan bakat
di SMA Al-Islam. Awalnya ia tidak tahu kalau Hima anak klien yang selama ini
sering menggunakan jasanya. Baru dua bulan kemudian ketika jadwal kunjungan mentoring
dari rumah ke rumah diadakan di rumah Hima, Fathin akhirnya tau kalau ia kenal
dengan ummi Hima.
“Him, ini
desain yang kemarin kan kata ummimu disuruh ganti warnanya yang lebih soft,
jadi aku buat pink peach. Kira-kira gimana? Kata bu Yuni kalau menurut kamu
udah pas berarti sudah oke.” Fathin kemudian menyodorkan tablet miliknya kepada
Hima.
Hima menerima
tablet tersebut dan melakukan zoom-in zoom-out untuk melihat detail dari desain
yang ada. “Udah oke kok itu kak. Oya kemarin ummi pesan, katanya kalau kerjaan
yang ini udah selesai, ada temannya yang mau minta dibuatkan desain packaging nasi
kotak.” Mendengar hal tersebut, Fathin kemudian mengeluarkan buku saku miliknya
untuk melihat deadline orderan klien-kliennya.
“Buat buru-buru
gak Him? Aku baru bisa kerjain pekan depan’e. Untuk minggu ini udah full slot.”
“Bentar, aku
tanyain ummi ya kak.” Jawab Hima yang dibalas anggukan Fathin.
Fathin
sebenarnya bisa saja langsung menghubungi bu Yuni, akan tetapi semenjak beliau
tahu kalau Fathin ternyata mentor anaknya, beliau sengaja menyuruh Fathin untuk
menghubungi Hima jika ada yang perlu disampaikan. Dan sebaliknya, beliau jadi
sangat sering menyuruh Hima menemui Fathin jika ada yang ingin disampaikan.
Katanya, biar Hima ada kerjaan. Karena memang Hima anak tunggal yang dari dulu
kesulitan berteman. Makanya bu Yuni sangat senang waktu tahu Fathin jadi mentor
Hima. Apalagi Hima sendiri lumayan tertarik dengan desain grafis, itu sebabnya
dia mau gabung dengan mentoring di SMAnya.
Beberapa saat
kemudian, pramusaji yang sebelumnya menerima pesanan Hima dan Fathin tiba untuk
menyajikan makanan. Setelah semua tersaji dan memastikan tidak ada yang
tertinggal ia pun kembali untuk melayani pelanggan selanjutnya. Begitu melihat
tahu bakso didepannya, Hima langsung asal comot dan memasukkannya ke dalam
mulut.
“Heh, baca do’a
dulu! Main langsung makan aja.” Tegur Fathin.
“Hehe, iya kak,
khilaf…” Jawab Hima yang meletakkan kembali tahu bakso yang hampir dikunyahnya.
“Jangan dibiasain
tuh Him, orang makan kalau nggak do’a dulu itu ntar makannya bagi dua sama
setan.”
“Iya, iya kak.”
Hima kemudian mengadahkan tangannya dan membaca do’a makan. Selanjutnya tanpa
babibu, ia langsung menyambar target tahu bakso sebelumnya dan mengunyahnya
dengan nikmat. Fathin tertawa kecil melihat kelakuan Hima. Iapun juga mulai
menyantap makanan yang dipesan, apalagi sudah sejak tadi perutnya berisik minta
diisi makanan.
***
“Hihihi, ada
aja ih…”….
“apaan coba,
haha.”….
“wkwkwk, parah
banget.”….
Fathin yang
sejak tadi duduk diseberang Hima menatap heran kearah gadis berkerudung hijau
didepannya yang sejak selesai makan tadi asyik dengan Handphone miliknya dan
tertawa cekikikan sendiri. Fathin kemudian sengaja mengetuk meja dengan keras
untuk mengagetkan Hima.
“Heh! ngapain
sih kamu dari tadi. Kayak orang gila aja ketawa-ketawa sendiri.” Hima tersentak
kemudian melihat kearah Fathin.
“Hahaha, ini
loh kak, daritadi aku WA’an sama mas tetanggaku itu. Dia lagi bête gara-gara rapat
kantornya nggak kelar-kelar, trus malah usil foto bosnya lagi ngomong didepan
terus diedit-edit buat lucu-lucuan. Lihat deh kak?” Hima menyodorkan ponsel
miliknya kepada Fathin untuk memperlihatkan gambar seorang bapak-bapak bertubuh
tambun dengan kumis lebat seperti tokoh pak raden yang sedang memasang wajah
serius, diberi tulisan: Jadi kamu mau ngelamar anak saya?
Melihat gambar
tersebut Fathin mau tak mau jadi ikutan tertawa. “Itu bosnya yang difoto? Nguawurrr
arek iku”.
“Makanya kak,
ngawur banget kan mas Amar tuh.” Hima masih tertawa terpingkal-pingkal melihat
foto di hapenya tersebut. Sementara Fathin langsung terdiam mendengarkan nama
yang barusan disebut Hima. Entah kenapa nama tersebut mengingatkan Fathin
dengan seseorang yang sudah sangat lama tidak ditemuinya. Orang yang sama yang
pernah mencuri hatinya. Dan juga orang yang akhir-akhir ini sedikit banyak
memenuhi fikirannya. (Bersambung)
PREVIEW NEXT CHAPTER>>
…“Fath, maafin aku…” Itu pesan terakhir
yang diterima Fathin dari Amar. Hari itu Fathin menangis sejadi-jadinya. Ia
memang marah pada Amar, tapi ia lebih marah pada dirinya sendiri. Marah karena
kelemahan yang akhirnya membuat semuanya semakin runyam…
[Pojok Penulis]
Yohoooo.. Makasih kalian yang udah menyempatkan diri membaca. Jujur, ini ide ceritanya masih seger banget, baru dapet dua hari yang lalu, trus karena takut keburu males langsung saya eksekusi hari itu juga. Yang lumayan bikin lama sebenernya bukan waktu nulisnya. Tapi pas bikin artworknya.. Wkwk.. Proses nulisnya malah termasuk cepet, sekali duduk, selesai satu chapter.. Well,karena ini cerbung yang dibuat disela-sela kesibukan dan sesuai mood penulis, jadi harap bersabar ya buat yang pengen baca lanjutannya.. Boleh ditulis dibawah juga soal komentar kalian dari cerita ini.. Semua komentar/pertanyaan/kritik/saran pasti saya jawab, kecuali kalian yang malah salah lapak dan dagang.. langsung saya hapus.. Hoho.. Sekali lagi makasiihhh gaeesss…^^
No comments: